"Jangan sampai kita hanya belanja, dimanfaatkan, tapi, tidak bisa jadi tuan rumah," kata Ismail.
Pemerintah perlu membuat aturan untuk mendorong pengembang membuat perangkat keras, platform, konten maupun aplikasi yang memanfaatkan 5G.
Salah satu hal penting yang perlu dipertimbangkan mengenai 5G adalah soal permintaan dan penawaran serta ekosistem. Indonesia perlu menemukan model bisnis yang tepat untuk memasarkan 5G.
Ismail mencontohkan saat ini konsumen Indonesia cenderung membayar dalam paket bundel yang berisi koneksi dan layanan lainnya.
Indonesia perlu menemukan model bisnis yang inovatif agar 5G dapat mendukung program seperti pendidikan dan kesehatan.
Sementara dari segi regulasi, regulator perlu menemukan mekanisme untuk berbagi spektrum yang adil bagi operator seluler. Konsep ini dilakukan di negara lain untuk menekan biaya 5G.
Pemerintah sedang menyiapkan kandidat spektrum yang akan dialokasikan untik jaringan 5G, diperkirakan akan menggunakan frekuensi 26GHz yang relatif kosong saat ini.
Konferensi internasional untuk telekomunikasi radio, World Radiocommunication Conference (WRC) 2019 di Mesir menetapkan frekuensi tambahan yang akan dipakai untuk jaringan 5G.
Dikutip dari laman International Telecommunication Union (ITU) News, lembaga PBB untuk teknologi informatika, WRC menetapkan rentang frekuensi tambahan yang akan digunakan untuk jaringan 5G, yaitu frekuensi 24,2 - 27,5GHz, 37 - 43,5GHz dan 45,5 - 47GHz.
WRC juga memasukkan frekuensi 47,2 - 48,2GHz dan 66-71GHz untuk jaringan 5G.
Source | : | Reuters |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR