Sejak Februari lalu, ada rumor yang beredar bahwa dua perusahaan ride hailing di Indonesia Gojek dan Grab akan melakukan penggabungan usaha alias merger. Isu penggabungan dua perusahaan ini kembali mencuat di tengah pandemi Covid-19.
Bisnis Gojek dan Grab terkena dampak pandemi ini hingga harus melakukan PHK terhadap karyawannya Juli lalu. Baik pihak Grab maupun Gojek enggan mengomentari isu ini seperti dikutip The Financial Times.
Menurut The Information bulan Februari lalu, Presiden Grab Ming Maa dan CEO Gojek Andre Soelistyo telah bertemu pada awal bulan Februari lalu untuk membicarakan soal merger.
Namun, Chief Corporates Affairs Gojek, Nila Marita, kala itu membantah kabar tersebut. Bahkan, Nila memastikan bahwa informasi tentang merger itu tidak benar adanya.
“Tidak ada rencana merger, dan pemberitaan yang beredar di media terkait hal tersebut tidak akurat,” kata Nila.
Penggabungan dua perusahaan super app ini disebut berpotensi menyelamatkan bisnis mereka agar tetap bisa mendulang keuntungan. Menurut Ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, apabila merger Grab dan Gojek terwujud, secara likuiditas akan menarik di mata investor karena valuasi semakin besar.
Dua startup ini sama-sama menyandang gelar sebagai perusahaan decacorn. Nilai valuasi yang dikumpulkan Grab disebut mencapai 14 miliar dollar AS atau sekitar Rp 207 triliun (kurs rupiah saat berita ini ditulis).
Sementara Gojek kabarnya mencapai 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp 148 triliun. Peluang merger kedua startup itu semakin terbuka karena mereka memiliki investor utama yang sama, yakni Mitsubishi UFJ Financial Group.
Mitsubishi menyuntikdan dana pada Grab bulan Februari lalu sebesar 856 juta dollar AS (Rp 12 triliun). Sebulan kemudian, perusahaan asal Jepang itu giliran menyuntikan dana segar untuk Gojek sebesar 1,2 miliar dollar As (Rp 20,2 triliun).
Bhima berpandangan masing-masing perusahaan memiliki layanan unggulan masing-masing di pasar Indonesia.
Gojek, menurut Bhima, lebih unggul dalam layananan di luar jasa transportasi, sementara Grab lebih unggul di layanan transportasi jika melihat jumlah akun pengemudi. Namun, Bhima juga menyoroti adanya potensi monopoli.
"Di negara lain, merger seperti ini biasanya sulit prosesnya karena kehadiran kompetitor diperlukan untuk membuat tingkat persaingan lebih sehat," ujar Bhima.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR