Dalam beberapa tahun terakhir, serangan siber berevolusi sangat cepat menyusul penggunaan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan oleh para pelaku kejahatan siber. Menurut laporan Cybersecurity Ventures pada 2023, serangan siber terjadi setiap 11 detik dan akan meningkat menjadi setiap 2 detik pada 2031.
Kerugian finansial akibat serangan siber berbasis AI ini diperkirakan akan melampaui 250 miliar dolar AS pada 2031. Melalui NetApp Data Complexity Report 2024, ada lebih dari 70 persen pemimpin di Asia Pasifik menyatakan adanya peningkatan risiko keamanan di sector enterprise akibat AI.
Di Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 300 juta anomali traffic pada tahun 2024, menunjukkan betapa rentannya infrastruktur digital di Indonesia. Serangan berbasis AI seperti deepfake phishing, malware otomatis, dan ransomware canggih semakin sulit dideteksi karena menggunakan teknik yang dinamis dan mampu mengecoh sistem keamanan tradisional.
Dengan meningkatnya kompleksitas serangan siber, perusahaan tidak bisa lagi mengandalkan solusi keamanan konvensional dan harus berinvestasi dalam sistem keamanan berbasis AI. Alasannya, serangan AI saat ini lebih sulit dideteksi seperti deepfake phishing dan AI-driven malware dapat menembus pertahanan tradisional.
Kemudian, kebocoran data atau serangan ransomware dapat mengakibatkan dampak finansial yang besar seperti kerugian miliaran rupiah dan gangguan operasional. Alasan lainnya, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) mewajibkan perusahaan untuk menjaga keamanan data pelanggan. Terakhir, kepercayaan pelanggan akan hancur jika terjadi kebocoran data sensitif.
NetApp, sebagai penyedia infrastruktur data cerdas menghadirkan solusi keamanan berbasis AI yang mampu melawan serangan siber modern. Michael Thiotrisno (Country Manager NetApp Indonesia) mengungkapkan serangan siber berbasis AI menjadi sangat dinamis karena memanfaatkan fungsi generatif AI untuk memanipulasi data, suara, bahkan wajah. Contoh sederhana adalah serangan biometrik, di mana AI dapat meniru identitas seseorang untuk melewati sistem keamanan.
"Korporasi dan pemerintah harus menyadari bahwa keamanan siber bukan lagi sekadar masalah IT, tetapi juga risiko bisnis yang kritis. Tanpa sistem yang mampu mendeteksi dan memitigasi serangan berbasis AI, perusahaan akan semakin rentan. Implikasinya sangat besar, mulai dari kehilangan data, kerusakan reputasi, hingga terganggunya kelangsungan bisnis," katanya.
Michael mengungkapkan penggunaan AI memungkinkan serangan ransomware yang lebih canggih, di mana malware dapat mengenali pola keamanan dan menghindari deteksi. Jika serangan ini berhasil, dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari kehilangan data, kerusakan reputasi, hingga gangguan bisnis yang serius.
"Dengan konsep deepfake phishing, penyerang bisa melewati sistem keamanan yang sudah dibangun. Mereka bisa memanipulasi biometrik, mengambil data pribadi, dan bahkan meretas sistem keamanan perusahaan," ujarnya.
Solusi AI NetApp vs Ancaman AI dalam Pertahanan Siber
Menyadari ancaman ini, NetApp, perusahaan penyedia infrastruktur data berbasis AI, menghadirkan solusi canggih untuk melawan serangan siber berbasis AI. Dengan tagline "The Most Secure Storage on the Planet", NetApp memastikan bahwa data pelanggan terlindungi melalui teknologi AI-driven security. NetApp menghadirkan solusi komprehensif berbasis AI untuk melawan serangan siber canggih.
"NetApp adalah salah satu penyimpanan paling aman di dunia. Kami menggunakan AI dan machine learning untuk mendeteksi ransomware sebelum menyerang. Jika terjadi serangan, kami bisa memulihkan data dalam waktu kurang dari 5 detik," ucapnya.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |