Euforia AI, khususnya generative AI, mulai mereda. Perusahaan pun mulai melirik enterprise AI yang lebih aman dan terkontrol karena sejumlah tantangan seperti shadow AI, yang berpotensi menimbulkan risiko kebocoran data.
Menurut laporan Telus Digital Experience, sebanyak 68% karyawan enterprise sudah menggunakan LLM atau chatbot AI publik di tempat kerja, dan lebih dari separuhnya (57%) mengaku telah memasukkan data sensitif ke dalam AI assistant tersebut. Sementara itu, temuan Accenture menunjukkan bahwa 86% eksekutif C-level telah mempertimbangkan investasi ke AI, dan laporan EY mengungkap bahwa 75% karyawan global sudah memakai AI dalam pekerjaan sehari-hari.
Potensi Risiko Shadow AI
Kemudahan akses ke tool dan aplikasi AI, seperti ChatGPT, memang mendorong demokratisasi AI. Namun di sisi lain, hal ini juga memicu fenomena shadow AI, yaitu fenomena yang terjadi ketika karyawan mengintegrasikan tool tersebut dalam alur kerja sehari-hari tanpa pengawasan perusahaan.
“Ini satu momok bagi perusahaan karena bisa terjadi karyawan meng-upload informasi sensitif milik perusahaan, informasi-informasi yang konfidensial, misalnya roadmap produk,” ujar Suandy Lim, Direktur PT Helios Informatika Nusantara (Helios) dan Founder Kouventa.
Data Telus yang mencatat lebih dari separuh karyawan enterprise telah mengunggah data sensitif perusahaan, menurut Suandy, menggambarkan besarnya potensi kebocoran data di lingkungan perusahaan dan organisasi.
Risiko kebocoran dan minimnya kontrol ini mendorong perusahaan dan organisasi untuk mulai beralih ke enterprise AI.
Suandy mencontohkan solusi AI Kouventa yang menawarkan opsi implementasi on-premises dan opsi kustomisasi LLM untuk memastikan data tetap berada di lingkungan perusahaan.
Tantangan Kualitas Data dan Pemilihan Model
Adopsi enterprise AI tentu bukannya tanpa tantangan. Kualitas data disebut Suandy Lim sebagai tantangan paling mendasar dalam adopsi AI.
“Ini tantangan yang paling umum. Juga ada pertanyaan bagaimana supaya datanya itu benar,” ujarnya. Pasalnya, tanpa data yang bersih, lengkap, dan tervalidasi, hasil AI tidak akan akurat atau dapat dipercaya.
Selain itu, pemilihan model AI juga menjadi kompleks karena banyaknya jumlah LLM yang ada di pasaran. “Kalau kita mau pilih model, kita harus tahu tujuannya mau kemana. Kalau tujuannya adalah analisis data, ya kita tidak bisa pakai aplikasi untuk content generation, misalnya,” kata Suandy. Dengan kata lain, perusahaan harus terlebih dahulu memetakan tujuan bisnis mereka sebelum menentukan jenis dan konfigurasi model AI yang tepat.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR