Cisco Cybersecurity Readiness Index 2025 mengungkapkan, baru 11 persen organisasi di Indonesia yang siap menghadapi ancaman keamanan siber secara efektif.
Angka tersebut bahkan menunjukkan penurunan karena tahun lalu ada 12% organisasi di tanah air yang dinilai sudah mencapai tingkat “mature” dalam kesiapan keamanan siber.
Kesiapan yang relatif rendah ini menurut Cisco dipengaruhi, antara lain, tren hyperconnectivity dan AI saat ini yang menimbulkan kompleksitas baru bagi praktisi keamanan.
“Seiring dengan transformasi organisasi yang ditimbulkan oleh AI, kita sedang menghadapi risiko terbaru di tingkat yang belum pernah ada sebelumnya – yang bahkan memberikan tekanan yang lebih besar pada infrastruktur kita dan mereka yang mempertahankannya,” kata Koo Juan Huat, Director, Cybersecurity, Cisco ASEAN.
Kesenjangan Kesadaran yang Mengkhawatirkan
Indeks terbaru ini juga mengungkap fakta yang mengkhawatirkan. Sebanyak 9 dari 10 organisasi (91%) mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan AI. Namun hanya 5% responden yang menyatakan bahwa AI adalah pilar keamanan siber yang paling sulit diamankan.
Sementara 68% responden percaya bahwa karyawan mereka sepenuhnya memahami ancaman terkait AI dan 65% yakin bahwa tim mereka sepenuhnya memahami bagaimana pelaku kejahatan berbahaya memanfaatkan AI untuk meluncurkan serangan mutakhir.
Kesenjangan dalam kesadaran ini tentu membuat posisi organisasi dalam konteks keamanan siber menjadi sangat rentan. Apalagi 94% dari responden di tanah air mengantisipasi gangguan bisnis dari insiden siber dalam 12-24 bulan mendatang.
“Organisasi sekarang harus memikirkan kembali strategi mereka mengenai cara adopsi AI dan cara melakukannya dengan aman, karena berisiko menjadi tidak relevan di era AI,” ujar Koo Juan Huat.
Tantangan Kompleksitas dan Talenta
Kecerdasan buatan bukan satu-satunya tantangan yang dikhawatirkan organisasi dan para praktisi keamanan. Indeks Cisco mencatat ada 92% organisasi menghadapi peningkatan risiko keamanan karena karyawan mengakses jaringan dari perangkat yang tidak terkelola. Hal ini diperparah dengan penggunaan took AI generatif yang tidak berizin.
Tantangan lain adalah kompleksitas infrastruktur keamanan yang dilaporkan oleh 84% responden. Cisco melaporkan bahwa sebagian besar organisasi memiliki lebih dari 10 point solution dalam security stack-nya. Hal ini akan melambatkan organisasi dalam mendeteksi, merespons, dan memulihkan sistem dari insiden yang ingin mereka cegah.
Kondisi ketidaksiapan ini semakin mengkhawatirkan karena 95% responden menyebutkan kekurangan tenaga profesional keamanan siber yang terampil sebagai tantangan besar. Sebanyak 66% di antaranya melaporkan bahwa ada lebih dari 10 posisi yang harus diisi.
“Di tahun lalu, kami sudah melihat perusahaan di dunia, termasuk di Indonesia, terus berusaha mengatasi ancaman yang berkembang seperti meningkatnya shadow AI, kekurangan talenta dan infrastruktur keamanan yang rumit. Ini menegaskan kebutuhan akan pendekatan yang berbeda terhadap keamanan – yang tidak hanya memanfaatkan AI untuk keamanan namun juga memastikan AI itu sendiri aman dan scalable,” ujar Marina Kacaribu, Managing Director, Cisco Indonesia.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR