Ancaman siber berbasis kecerdasan buatan (AI) kian berkembang secara diam-diam dan cepat di Indonesia.
Menurut survei terbaru dari Fortinet yang dilakukan bersama IDC, lebih dari separuh organisasi di Indonesia (54%) telah mengalami serangan siber berbasis AI dalam satu tahun terakhir.
Peningkatan ini bukan hanya dari segi volume, tetapi juga dari sisi kecanggihan dan dampak yang ditimbulkan.
“Kompleksitas kini menjadi medan pertempuran baru dalam keamanan siber, dan AI adalah tantangan sekaligus garis depan pertahanan,” ujar Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia.
“Ketika ancaman menjadi semakin senyap dan terkoordinasi, Fortinet membantu organisasi di seluruh Indonesia untuk tetap selangkah lebih maju melalui pendekatan platform terpadu yang menggabungkan visibilitas, otomasi, dan ketahanan," ucapnya.
AI: Senjata Baru Serangan Siber
Dalam wawancara bersama InfoKomputer, Edwin Lim menjelaskan bahwa AI memungkinkan serangan menjadi lebih otomatis dan dapat dilakukan oleh pelaku dengan keterampilan teknis minimal.
“Dengan teknologi AI yang semakin canggih, individu bisa melakukan serangan seperti phishing atau pencurian data secara efisien tanpa perlu keahlian teknis mendalam,” jelasnya.
Survei Fortinet mengungkap bahwa 36% organisasi mengalami peningkatan ancaman AI hingga tiga kali lipat.
Jenis ancaman yang paling sering dilaporkan meliputi penyamaran deepfake dalam skema penipuan email bisnis (Business Email Compromise), credential stuffing berbasis AI, dan malware polimorfik yang terus berubah bentuk untuk menghindari deteksi.
Ironisnya, meskipun serangan meningkat, hanya 13% organisasi yang merasa sangat percaya diri dalam kemampuan mereka mendeteksi dan merespons ancaman tersebut.
Bahkan, 18% mengaku sama sekali belum memiliki kemampuan untuk melacak ancaman berbasis AI. Ini memperlihatkan kesenjangan kesiapan yang sangat serius di tingkat organisasi.
Layanan Esensial Jadi Target, Publik Jadi Korban
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |