Drama terjadi kepada Intel pada pagelaran Computex 2018 di Taiwan, awal Juni lalu. Intel, yang mendapat slot keynote di hari pertama, menunjukkan prosesor Intel dengan 28 core dan berkecepatan 5GHz. Momen ini sekaligus menandai 40 tahun kiprah prosesor Intel di dunia personal computer.
Akan tetapi, momen bersejarah tersebut tak lama berubah menjadi malapetaka. Pasalnya belakangan diketahui, prosesor tersebut beroperasi menggunakan pendingin water chiller Hailea HC-1000B yang biasanya digunakan untuk mendinginkan akuarium. Yang lebih tragis, AMD yang mengisi slot keynote di hari berikutnya, menunjukkan prosesor Threadripper 2 yang memiliki 32 core berkecepatan 3GHz dan cukup menggunakan air-cooling.
Muncul rumor, Intel mengumumkan prosesor 28 core-nya lebih untuk mengalihkan perhatian dari prosesor baru AMD. Namun Intel sepertinya tidak menyangka AMD akan menunjukkan prosesor dengan 32 core. Sesaat setelah pengumuman AMD, Intel buru-buru mengambil prosesor 28 core-nya dari booth pameran.
Drama ini sedikit banyak bisa menggambarkan masalah besar yang dihadapi Intel saat ini. Setelah mendominasi pasar prosesor selama puluhan tahun, kini Intel harus menghadapi resiko disusul pesaing utamanya.
Dominasi Panjang
Mirip seperti Microsoft, kisah sukses Intel berawal dari kesuksesan IBM PC di era 80an. Kala itu, IBM yang ingin menjual PC sebanyak-banyaknya, melakukan strategi outsourcing. Sistem operasi diserahkan ke Microsoft, sementara prosesor ke Intel. Kerjasama ini kemudian membentuk ekosistem yang mendominasi selama lebih dari 35 tahun: DOS/Windows milik Microsoft dioptimasi di atas prosesor Intel x86, prosesor x86 pun dioptimasi untuk DOS/Windows.
Namun DOS/Windows adalah software yang relatif mudah digandakan. Sementara Intel harus membuat hardware yang melibatkan proses manufaktur yang rumit. Agar tidak tergantung terhadap satu supplier, IBM meminta Intel memberikan lisensi ke pihak lain. Intel pun menggandeng AMD, yang mendapatkan lisensi untuk memproduksi desain chip 8086, 8088, dan 80286 yang menjadi dasar pengembangan prosesor x86 ke depan.
Sejak saat itu, Intel dan AMD pun menjadi duo yang mendominasi segmen prosesor PC. Namun jika keduanya dibandingkan, Intel praktis jauh di atas AMD karena memiliki keunggulan teknologi dan produksi. Apalagi Intel mengambil strategi integrasi fabrikasi: mulai dari desain, manufaktur, dan pemasaran dilakukan sendiri.
Awalnya, AMD juga melakukan hal yang sama. Namun sejak tahun 2009, AMD memutuskan untuk menjadi fabless alias hanya mendesain prosesor tanpa memiliki pabrik. Untuk mentranslasikan desain menjadi produk prosesor, AMD menyerahkannya kepada TSMC dan Global Foundaries, dua perusahaan khusus fabrikasi prosesor.
Menjadi perusahaan fabless memang memiliki plus-minus tersendiri. Salah satu keuntungannya adalah AMD tidak perlu mengeluarkan anggaran membuat pabrik yang bisa mencapai US$10 milyar. Akan tetapi, menjadi fabless juga berarti menggantungkan nasib ke pihak lain. Secanggih apapun desain prosesor yang dihasilkan AMD, tidak akan berguna jika mitra fabrikasi tidak memiliki teknologi yang memadai.
Hal inilah yang tidak harus dihadapi Intel. Karena memiliki pabrik sendiri, mereka bisa mengintegrasikan desain dan fabrikasi dengan lebih mudah. Dengan kata lain, nasib berada di tangan Intel sendiri.
Situasi Terbalik
Akan tetapi, Intel ternyata tidak mampu memanfaatkan keunggulan tersebut. Ada banyak penyebabnya. Salah satunya adalah turunnya pasar PC yang digerus kepopuleran smartphone. Fenomena ini coba dijawab Intel dengan masuk ke segmen mobile devices.
Intel sebenarnya bisa cepat masuk ke segmen mobile ini jika mau membuat prosesor berbasis mikroarsitektur ARM (yang cocok dengan segmen mobile karena lebih irit daya). Akan tetapi, Intel lebih memilih masuk ke segmen mobile devices dengan tetap menggunakan mikroarsitektur x86 milik mereka. Meski telah melakukan berbagai optimasi, desain x86 tetap tidak mampu menurunkan konsumsi dayanya. Intel pun akhirnya menarik dari segmen mobile di tahun 2016.
Karena fokus masuk ke segmen smartphone, Intel lalai mempertahankan keunggulan di sisi fabrikasi. Selama ini, Intel berhasil menjadi yang terdepan di teknologi fabrikasi mulai era 90nm, 45nm, sampai 14nm (Sebagai informasi, angka nanometer menunjukkan jarak antar chip di dalam prosesor. Semakin kecil fabrikasi, semakin banyak chip yang bisa dimampatkan dalam ruang yang sama, yang berarti prosesor yang lebih cepat atau lebih banyak fitur).
Akan tetapi Intel kesulitan menembus angka era 10nm, yang membuatnya terkejar oleh pabrikan lain seperti Samsung, TSMC, dan Global Foundries. Hal ini pun membuka peluang bagi AMD untuk “menggoyang” dominasi Intel. Tanda-tandanya bisa dilihat dari kemunculan prosesor AMD Ryzen pada April 2018 kemarin.
Menggunakan desain mikroarsitektur baru Zen dan fabrikasi 12nm, Ryzen berhasil menunjukkan performa yang bersaing dengan prosesor Intel. Prosesor Intel memang unggul dari sisi performa clock-per-clock, namun AMD Ryzen menawarkan jumlah core yang lebih tinggi—salah satunya karena fabrikasi 12nm itu.
Prospek Intel ke depan pun bisa dibilang tak menggembirakan. Intel baru saja mengonfirmasi, prosesor berbasis 10nm mereka kembali ditunda dan baru akan muncul di tahun 2019. Sementara pada pagelaran Computex tersebut, AMD mengumumkan akan merilis prosesor berbasis 7nm di awal 2019 ini.
Prosesor berbasis 7nm ini awalnya akan muncul di lini prosesor AMD EPYC yang ditujukan untuk segmen data center. Hal ini tentu saja menambah kekhawatiran Intel mengingat segmen enterprise selama ini menjadi andalan mereka.
Di tengah kesulitan itu, Intel kembali didera masalah menyusul mundurnya sang CEO, Brian Krzanich. Mundurnya Krzanich disebabkan pelanggaran kode etik akibat terlibat kasus asmara. Akan tetapi, mundurnya Krzanich mungkin menjadi berkah tersendiri bagi Intel. Di bawah kepemimpinan CEO baru, siapa tahu Intel kembali merebut tampuk kepemimpinan di dunia prosesor.
Artikel ini adalah bagian dari isi Majalah InfoKomputer edisi Juli 2018. Ingin membaca artikel berkelas lainnya dari InfoKomputer? Silakan berlangganan di sini.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR