Pertanyaan ini akan sulit dijawab karena belum ada pengujian definitif yang berhasil menunjukkan efek negatif (ataupun tidak adanya efek negatif) dari penggunaan gelombang millimeter wave yang digunakan 5G.
Pada tahun 2015, 230 peneliti dari 40 negara menuliskan kekhawatiran mereka atas implikasi penggunaan gelombang milimeter wave. Beberapa penelitian juga menunjukkan korelasi antara efek paparan milimeter wave terhadap objek studi.
Salah satunya adalah penelitian Arno Thielsens yang membandingkan efek yang terjadi pada serangga yang diekspos gelombang radio di beberapa frekuensi. Penelitian tersebut membuktikan, serangga menyerap gelombang di atas 6GHz lebih besar dibanding di bawah 6GHz. Semakin banyak frekuensi terserap, semakin besar pula efek dielectric heating alias kenaikan suhu tubuh akibat radiasi frekuensi. Jika terjadi dalam waktu lama, kenaikan suhu tubuh tersebut akan menimbulkan perubahan psikologi dan anatomi.
Akan tetapi, banyak juga yang meragukan klaim ini. Pihak yang menganggap 5G aman menyodorkan bukti penggunaan WiFi yang masif saat, dan hal tersebut tidak meningkatkan kenaikan resiko kesehatan (sebagai informasi, WiFi bekerja di frekuensi 2-5GHz).
Riset yang dilakukan NYU Polytechnic School of Engineering juga tidak menunjukkan efek negatif frekuensi 5G. Hasil riset menunjukkan penggunaan gelombang radio 60GHz dengan power 50W/m2 hanya meningkatkan temperatur kulit sebanyak 0,8 derajat celcius atau di bawah batas aman (1 derajat Celcius).
Padahal, power yang digunakan adalah 50W/m2, sedangkan pemancar 5G memancarkan gelombang radio dengan power jauh di bawah itu.
Pendek kata, belum ada konsensus efek penggunaan milimeter wave bagi tubuh. Tak heran jika kini muncul tarik-menarik kepentingan. Pihak industri ingin segera menggulirkan teknologi 5G agar peluang bisnis kian terbuka, sementara ilmuwan ingin teknologi 5G ditangguhkan dulu sampai ada penelitian lebih lanjut.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR