Kejadian tsunami yang terjadi di Selat Sunda beberapa waktu lalu menyisakan kegelisahan tersendiri: mengapa peristiwa seperti itu tidak terdeteksi sama sekali?
Alasan utama yang mengemuka adalah sistem peringatan tsunami di Indonesia lebih fokus pada kejadian tsunami yang diakibatkan oleh kejadian gempa. Sistem peringatan dini ini biasanya menggunakan seismograf (untuk mendeteksi gempa), GPS (untuk mendeteksi lokasi), serta tide gauge (untuk mengukur perubahan tinggi air). Pendekatan ini sebenarnya sangat beralasan karena tsunami biasanya dipicu oleh gempa besar yang mengakibatkan gejolak air laut.
Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan tsunami akibat kejadian alam lain. Hal inilah yang terjadi saat tsunami di Selat Sunda yang disebabkan longsoran Anak Gunung Krakatau. Pada kejadian seperti itu, sistem peringatan dini tsunami tidak mendeteksi tsunami karena tidak adanya gempa.
Kondisi menjadi semakin parah karena Indonesia sebenarnya masih kekurangan sensor untuk mendeteksi kejadian alam. Harga perangkat deteksi tsunami tidaklah murah, dan masih harus dibayang-bayangi momok pencurian. Padahal seluruh wilayah Indonesia sebenarnya membutuhkan perangkat deteksi tsunami mengingat posisi kita yang berada di cincin api Pasifik.
Semua faktor tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah ada sistem alternatif peringatan dini tsunami yang bisa menjawab semua tantangan tersebut?
Memanfaatkan Sensor
Salah satu yang bisa jadi alternatif adalah menggunakan Wireless Sensor Network (WSN). Penjelasan lebih detail bisa dilihat di artikel ini, namun pada intinya, WSN adalah sistem jaringan sensor berbasis wireless.
Dr. Ir. Prihadi Murdiyat, MT, Dosen Politeknik Negeri Samarinda yang banyak meneliti WSN menjelaskan konsep sistem deteksi ini. “Serupa dengan teknologi SCADA dan telemetri, sebuah jaringan WSN paling tidak terdiri dari sejumlah sensor node (SN), sebuah base station (BS), dan control station (CS)” ungkap pria lulusan Curtin University, Australia ini.
Dalam operasinya, semua SN yang berada di sensing field mengirimkan data ke BS yang terletak pada lokasi yang sama dengan SN. Setelah mengumpulkan data, BS kemudian meneruskan data ke CS yang terpisah dalam jarak yang jauh. Pada CS inilah data dikumpulkan dan dianalisis lebih lanjut menjadi informasi.
Konsep kerjanya terbilang mirip seperti sistem peringatan dini saat ini. Yang membedakan adalah WSN dapat dibangun dengan biaya per unit yang lebih murah. “Ini dimungkinkan karena WSN dibangun dari sensor MEMS, micro controller, dan single chip transceiver yang semuanya mudah didapatkan di pasaran” tambah pria yang akrab dipanggil Didik ini.
Contohnya komponen microcontroller bisa menggunakan kit Arduino atau Raspberry Pi, sementara transceiver-nya menggunakan Bluetooth atau WiFi. “Dengan menggunakan produk komersial seperti ini, bisa yang dibutuhkan untuk satu unit SN bisa di kisaran raturan ribu rupiah, tergantung tingkat kompleksitas sistemnya” tambah Didik.
Faktor harga ini menjadi krusial mengingat Indonesia memiliki struktur gunung dan patahan yang membutuhkan sensor dalam jumlah besar. Implementasi WSN sebagai sistem peringatan dini ini dapat digabungkan dengan sistem peringatan dini yang sudah ada, atau dapat berdiri sendiri.
Didik juga mengklaim, membuat sebuah sistem peringatan dini dengan teknologi WSN tidak terlalu sulit. “Peneliti, dosen, mahasiswa, hingga siswa sekolah menengah pun sebenarnya mampu membuatnya” ungkap Didik. “Yang diperlukan hanyalah ketekunan dan kerja keras. Biaya dan teknologi bukan merupakan kendala berarti” tambahnya.
Implementasi WSN menjadi sistem peringatan dini tsunami memang masih panjang. Namun semoga saja sistem WSN bisa digunakan untuk melindungi ratusan juta warga Indonesia dari bahaya tsunami.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR