Harga Bitcoin berangsur-angsur turun. Titik rendahnya terjadi pada Rabu (21/11/2018), di mana harga bitcoin jatuh 25 persen dalam seminggu.
Jika diukur sejak titik terendahnya Desember tahun lalu hingga sekarang, harga Bitcoin turun 75 persen.
Merujuk blockchain.com, New York Times melaporkan nilai tukar Bitcoin terhadap dollar AS pada tanggal tersebut adalah 4.035 dollar AS.
Harga Bitcoin kembali turun ke angka 3.824 dollar AS (sekitar Rp 55,4 jutaan) dari sumber yang sama.
Setidaknya ada lima alasan utama mengapa harga Bitcon dan mata uang digital lainnya terus anjlok seperti dikutip New York Times.
1. Infrastruktur dan Nilai Tukar yang Tidak Teregulasi
Sebagian besar perdagangan kriptokurensi terjadi di luar Amerika Serikat, di mana pertukaran semacam ini minim pengawasan dari badan regulasi AS yang terkenal sangat ketat.
Hal itu memberikan ruang kepada investor untuk menyimpan saham dengan bebas, meski bahayanya sudah sangat jelas nampak.
Bloomberg melaporkan bahwa Menteri Kehakiman Amerika Serikat melakukan investigasi kriminal tentang manipulasi menggunakan salah satu kriptokurensi, Tether.
Tether disebut membuat keresahan di kalangan investor. Peneliti Universitas Texas mempublikasikan hasil penemuannya yang mengindikasikan bahwa Tether digunakan untuk memompa harga Bitcoin dkk secara manipulatif.
Beberapa penjual harus menjual Tether dalam kondisi merugi, demi mendapatkan kembali uangnya. Para pedagang kriptokurensi juga meragukan OKEx, sebuah lembaga penukar mata uang digital yang berbasis di Hong Kong.
OKEx diketahui kerap mengganti aturan lebih awal tanpa memberi tahu para pedagang kriptokurensi.
Salah satu pengelola investasi, Amber AI mengatakan bahwa banyak pelanggan yang rugi besar-besaran karena perubahan peraturan itu.
Mengetahui banyak yang merugi, OKEx meminta maaf ke para pelanggannya, karena telah mengganti peraturan yang menyebabkan kericuhan perdagangan.
2. Tindakan Regulator
Salah satu yang mendongkrak nilai Bitcoin dkk adalah kegiatan Initial Coin Offering atau penawaran perdana koin, serupa dengan IPO yang banyak dilakukan perusahaan untuk mencari pendanaan.
ICO juga memungkinkan startup mendapatkan dana, namun tanpa melibatkan regulator. Hal ini menarik perhatian Komisi Sekuritas dan Bursa yang menilai ICO akan melanggar beberapa aturan sekuritas yang berlaku.
Mereka saat ini memberikan sanksi untuk para perusahaan yang melanggar hukum sekuritas dengan penawaran mereka.
Komisi Sekuritas dan Bursa telah memberikan sanksi kepada dua perusahaan yang melakukan ICO. Mereka diminta untuk mengembalikan uang kepada investor, sementara kasus ini masih akan diproses ke depannya.
3. Diatur Komunitas, bukan Pemerintah
Karena lepas dari pemerintah, kriptokurensi diatur oleh komunitas para pengembang yang artinya, hal itu akan lebih rentan melemah. Menilik sejarahnya, salah satu kriptokurensi terbesar, Bitcoin diciptakan pada Januari 2009.
Selama bertahun-tahun, anggota komunitas Bitcoin bekerja sama meningkatkan piranti lunak.
Lambat laun, kerja sama itu memudar. Setelah perdebatan panjang, salah satu kelompok merilis versi baru software Bitcoin.
Versi ini memiliki aturan yang berbeda dan digadang menjadi kriptokurensi baru yang lebih kuat bernama, Bitcoin Cash.
Silang pendapat diduga kembali muncul dari kelompok penggagas Bitcoin Cash yang kemudian pecah menjadi dua kubu. Bitcoin Cash pecah menjadi dua, yakni Bitcoin ABC dan Bitcoin SV.
Dalam dunia peranti lunak, satu induk paket software yang terpecah menjadi kepingan berbeda disebut fork. Namun, fork yang baru tidak bisa menggantikan Bitcoin orisinil.
Kendati begitu, mereka berpeluang menciptakan chaos dalam pasar dagang kripto.
4. Solusi yang Tidak Nyata
Para pencipta Bitcoin memiliki visi agar Bitcoin bisa mempermudah transaksi pembayaran secara instan lintas negara, tanpa harus berpusing tentang nilai tukar mata uang negara yang berbeda-beda.
Salah satu kriptokurensi yang lumayang besar lainnya adalah Ethereum. Ethereum, hingga saat ini masih mencoba menciptakan super komputer global. Ribuan token lain juga diciptakan untuk tujuan yang besar.
Tapi sejauh ini, token-token tersebut hanya digunakan untuk perdagangan spekulatif. Para pengembang mengatakan bahwa Bitcoin, Ethereum, dan kebanyakan kriptokurensi tertatih-tatih karena masalah teknis yang membuat token mereka sulit digunakan untuk transaksi di dunia nyata.
Mereka yang berkecimpung dalam industri kriptokurensi memang menawarkan solusi untuk memudahkan transaksi di masa depan, tapi mereka lambat untuk memproduksinya.
5. Campur Tangan Pemerintah
Sejauh ini, pemerintah di banyak negara seakan menjadi oposisi kriptokurensi.
Namun menurut Christine Lagarde, Managing Director and Chairwoman International Monetary Fund (IMF) mengatakan bahwa mata uang digital bisa meningkatkan jaringan pembayaran.
Ia juga mengatakan bahwa pemerintah bisa ikut andil dalam mengatur kriptokurensi lebih efektif dan menghapus masalah kurangnya kepercayaan yang justru membelenggu kriptokurensi.