Find Us On Social Media :

2 Tantangan Pertumbuhan Ekonomi Digital di Indonesia versi Google

By Adam Rizal, Kamis, 29 November 2018 | 13:00 WIB

Ilustrasi Digital Economy

Google bersama Temasek memprediksi nilai valuasi ekonomi digial di Asia Tenggara pada tahun 2025 mencapai 240 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.448 triliun) pada tahun 2025.

Namun, sejumlah persoalan masih menjadi "PR" bagi pemerintah dan pelaku ekonomi digital di negara-negara Asia Tenggara.

Dua tantangan terbesar adalah minimnya sumber daya manusia atau talent yang cakap dan masih rendahnya transaksi digital (digital payment).

Menurut Google, pada tahun 2017, sedikitnya sumber daya profesional yang mumpuni untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara menjadi tantangan yang besar dan belum terpecahkan.

Beberapa perusahaan digital disebut susah payah merekrut pekerja yang andal dan mengembangkan jumlahnya untuk menguatkan tim.

Randy Jusuf, Managing Director Google Indonesia mengatakan masalah ini sudah sering menjadi pembahasan. Menurut Randy, sumber daya manusia yang dibutuhkan tak melulu direct talent atau ahli yang berurusan langsung dengan teknologi digital seperti developer, ahli koding, atau teknisi.

"Bukan hanya direct talent tapi juga yang bekerja dari ride hailing atau UKM-UKM yang menjual produk ke luar negeri," jelasnya.

Di tahun 2018, Google memperkirakan akan ada lebih dari 100.000 pekerja ahli profesional di perusahaan ekonomi digital di Asia Tenggara yang meliputi empat sektor, yakni e-commerce, online media, online travel, dan ride hailing.

"Nah, meskipun masih ada kesempatan (untuk diperbaiki), tapi kami cukup senang melihat ini sebagai kemajuan dalam dua-tiga tahun ke belakang," imbuh Randy.

Transaksi cashless belum maksimal Setali tiga uang, sektor transaksi digital juga disebut Randy masih belum maksimal.

Dari survey Google, hanya kurang dari satu dari dua pengguna internet di Asia Tenggara menggunakan layanan transaksi digital.

Filipina dan Vietnam menjadi dua negara terendah dari enam negara Asia Tenggara lain yang mengadopsi transaksi digital dengan persentase 21 persen dan 25 persen secara berurutan.

Singapura mejadi negara dengan penggunaan digital payment tertinggi di Asia Tenggara dengan persentase 52 persen. Disusul Indonesia dengan 46 persen di posisi kedua dan Malaysia 45 persen di posisi ketiga, dan Thailand 39 persen di peringkat keempat.

Menurut Randy, masyarakat memang sudah mulai berani melakukan transaksi secara cashless, namun untuk transaksi secara offline, mereka lebih sering menggunakan uang tunai.

Rendahnya adopsi transaksi digital menyebabkan pertumbuhan konsumsi digital seperti gaming dan langganan streaming video serta musik menjadi tersendat.

Apalagi, sebagian besar masyarakat Asia Tenggara cenderung menikmati layanan streaming dengan subsidi iklan alias gratisan walaupun tersedia pilihan pembayaran, termasuk yang menggunakan transaksi digital.

Harus maju ramai-ramai Beberapa perusahaan digital sudah menyadari hal ini. Sebagian di antaranya mulai menjalin kerja sama dengan FinTech, bank atau membuat platform sendiri seperti Go-Pay besutan Go-Jek.

"Ini tidak bisa jalan sendirian, harus ada kerja sama untuk bisa maju rama-ramai, untuk bagaimana memecahkan masalah ini bersama-sama," tambah Randy.

Ia juga menambahkan, kemungkinan para perusahaan itu untuk membuat platform digital payment sendiri, sangat tergantung pada regulasi masing-masing negara.

Selain sumber daya dan transaksi digital, logistik juga menjadi salah satu masalah yang harus segera diperbaiki jika ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi digital yang luas.

Google dan Temasek mencatat, pengiriman logistik e-commerce tumbuh pesat. Tahun 2015 hanya tercatat 800.000 pengiriman per hari, tapi di tahun 2018 angkanya tumbuh mencapai tiga juta pengiriman per hari.

Puncaknya, setiap ada agenda festival belanja di Indonesia, aktivitas logistik bisa mencapai tiga kali lipat dari jumlah rata-rata per hari.

Demografi negara kepulauan yang dimiliki sebagian wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia atau Filipina, menjadi tantangan tersendiri untuk pertumbuhan logistik.

Go-Jek Beberapa perusahaan seperti Lazada dan Redmart tengah membangun jaringan logistiknya sendiri untuk mengatasi masalah ini. Sedangkan e-commerce lain, masih banyak yang berpangku ke jasa ekspedisi pihak ketiga.

Sementara sektor lain seperti infrastruktur internet, jumlah pengguna dan investasi, mendapat "rapor biru" dari Google. Meski masih ada catatan untuk daerah terpencil yang masih kesulitan mengakses internet untuk segera dijamah.