Find Us On Social Media :

Sinyal Data Seismik BMKG Tak Deteksi Gempa, Ini Penyebab Tsunami Anyer

By Adam Rizal, Minggu, 23 Desember 2018 | 17:00 WIB

Inilah Penyebab Tsunami Anyer

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan tsunami yang terjadi di Selat Sunda bukan akibat gempa bumi.

"Peristiwa ini tidak disebabkan oleh aktifitas gempabumi tektonik. Kepada masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya," ujar Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono.

BMKG segera melakukan analisis rekaman data sinyal seismik di beberapa sensor seismik terdekat dengan lokasi terjadinya tsunami.

"Berdasarkan analisis sinyal seismik tidak didapatkan adanya rekaman gempa bumi pada waktu yang berdekatan dengan waktu terjadinya tsunami di sekitar Banten dan Lampung," kata dia.

Berdasarkan hasil pengamatan tidegauge (sementara) BMKG, didapatkan data sebagai berikut:

a. Tidegauge Serang tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian 0.9m

b. Tidegauge Banten tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0.35m

c. Tidegauge Kota Agung Lampung tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0.36m

d. Tidegauge Pelabuhan Panjang tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0.28m

Penyebab

Mengenai penyebab tsunami di beberapa daerah termasuk Pantai Anyer, seperti ahli dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko, BMKG juga menduga bahwa tsunami dengan ketinggian tertinggi 0,9 meter ini disebabkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau yang pada Sabtu bererupsi hingga 4 kali, terakhir pada pukul 21.03 WIB.

Menurut BMKG, gelombang yang menerjang bisa jadi lebih tinggi dari yang terdata sebab ada beberapa wilayah di sekitar Selat Sunda yang punya morfologi teluk seperti di Palu.

Sementara itu Ahli ekologi dan evolusi Gunung Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Tukirin menjelaskan kemungkinan penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda karena longsoran bawah laut dan gelombang pasang.

Tukirin sebagai ahli yang mempelajari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau itu, menjelaskan bahwa gunung yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung.

Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.

"Saya punya pengalaman sedang di darat, di Gunung Anak Krakatau, kemudian terjadi getaran karena aktivitas vulkanik, getaran saja. Itu dinding Anak Krakatau yang setinggi 400 meter itu longsor, sampai ke laut. Tapi tidak menimbulkan tsunami, karena itu kan di darat," katanya.

Tukirin mengatakan Tsunami yang terjadi hanya karena longsoran tebing bawah laut biasanya tidak menimbulkan gelombang besar Namun, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh.

"Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama. Mungkin di samping getaran itu juga ada pasang laut perbani pada bulan purnama. Sehingga air laut naik, ditambah itu (longsoran, red.), terjadilah gelombang yang cukup besar," katanya.

Tidak ada Warning

BNPB memastikan, tidak ada peringatan dari BMKG terkait adanya tsunami susulan. "Tidak ada warning dari BMKG.

Adanya sirine tsunami di Teluk Labuhan, Labuhan, Pandenglang yang tiba-tiba bunyi sendiri bukan dari aktivasi BMKG atau BNPB," kata Sutopo.

Sutopo belum mendapatkan informasi lebih lanjut soal penyebab bunyinya sirine peringatan tsunami itu. Ia menduga ada kesalahan teknis yang membuat sirine berbunyi dengan sendirinya.

"Kemungkinan ada kerusakan teknis sehingga bunyi sendiri," imbuh dia.

Akibat kabar tsunami susulan itu, warga berhamburan berlarian ke wilayah yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan titik kumpul evakuasi tsunami di kawasan itu penuh.

"Masyarakat banyak yang mengungsi karena mendengar sirine. Shelter tsunami penuh dengan warga yang mengungsi.," ucap dia.