Dalam menjalani kehidupan, manusia selalu berusaha mengenali lingkungan yang akan dihadapi. Dengan mengenal lebih baik lingkungannya, manusia mudah menyesuaikan diri dan siap menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Pada jaman dahulu, nenek moyang kita mampu menggunakan tanda-tanda alam untuk mengetahui fenomena di sekitarnya.
Penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi, misalnya, dapat memperkirakan terjadinya erupsi jika binatang-binatang yang biasa tinggal di lereng gunung tiba-tiba berdatangan di desa. Para nelayan dapat mengetahui arah berdasar pada konfigurasi bintang. Mereka juga mampu memperkirakan datangnya badai berdasar pada perubahan angin dan ombak. Entah kenapa kemampuan seperti ini mulai jarang dipakai lagi.
Pada jaman modern ini, manusia cenderung menggunakan teknologi sensor untuk mengukur berbagai fenomena di sekitarnya. Sensor memiliki kemampuan mengubah besaran yang diukur dari suatu fenomena menjadi besaran listrik yang selanjutnya dapat diproses oleh komputer.
Berbagai sensor dikembangkan untuk mengukur berbagai fenomena, seperti temperatur, kelembaban udara, kadar gas, posisi, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, penemuan sensor-sensor baru terutama jenis bio sensor terus dilakukan untuk mengamati fenomena dalam tubuh tanaman, hewan, dan manusia.
Keluaran sensor biasanya tidak langsung dihubungkan dengan komputer karena beberapa alasan. Beberapa di antaranya adalah kecilnya sinyal listrik yang dihasilkan oleh sensor, lokasi sensor yang terpisah dari komputer, dan jumlah sensor yang cukup banyak. Karena itu, sensor perlu dilengkapi perangkat lain sebelum dihubungkan dengan komputer.
Untuk terkoneksi dengan komputer, sensor-sensor masa kini membutuhkan perangkat pemroses data (processor), serta pemancar dan penerima (transceiver). Processor mengubah sinyal listrik menjadi data digital dengan format yang dibutuhkan oleh komputer. Sementara, transceiver mengirim data digital ke komputer melalui media komunikasi yang dipilih. Keseluruhan unit yang terdiri dari sensor, processor, dan transceiver ini disebut sebagai sensor node (SN).
Jaringan Sensor
Untuk mengamati suatu fenomena, jumlah SN yang digunakan umumnya lebih dari satu. Dalam operasinya, semua SN yang berada dalam sensing field mengirim data ke sebuah base station (BS) yang terletak pada lokasi yang sama dengan SN. Setelah mengumpulkan data dari SN, BS kemudian meneruskan data ke control station (CS) yang umumnya terpisah dalam jarak yang jauh. Pada bagian terakhir inilah, data dikumpulkan untuk dianalisa lebih lanjut menjadi informasi.
Jaringan yang dibentuk oleh SN, BS, dan CS ini dikenal sebagai sensor network. Jika komunikasi antar unit dalam sensor network dilakukan tanpa menggunakan kabel, maka sistem ini disebut sebagai wireless sensor network (WSN).
Dalam melakukan komunikasi antar unit dalam WSN, media komunikasi yang digunakan sangat tergantung pada lingkungan di mana WSN ditempatkan. Pada lokasi di darat, gelombang radio sangat umum digunakan, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan media lain seperti LASER atau infra merah (IR).
Untuk WSN yang diletakkan dalam tanah (underground), media komunikasi yang dipilih adalah gelombang radio dengan frekuensi tertentu yang mempunyai karakteristik mampu merambat dalam tanah. Sementara itu, WSN yang terletak di bawah permukaan air (underwater) menggunakan gelombang suara sebagaimana yang digunakan oleh ikan paus dan lumba-lumba, karena mampu merambat dalam jarak yang jauh.
Untuk mendapatkan hasil ukur yang teliti, SN umumnya diletakkan di lokasi yang dekat dengan fenomena yang diukur. Namun kebutuhan ini juga memiliki konsekuensi tersendiri. Instalasi di medan sulit seperti di dalam hutan lebat, tebing curam, mulut kawah gunung berapi, dan lain sebagainya, dapat mengundang kesulitan atau resiko bagi petugas instalasi.