Find Us On Social Media :

Multi Cloud vs Hybrid Cloud, Apa Perbedaan dan Tantangannya?

By Liana Threestayanti, Selasa, 8 Januari 2019 | 09:05 WIB

Istilah multi cloud makin sering kita dengar. Apakah multi cloud sekadar istilah lain untuk hybrid cloud? Inilah penjelasan singkatnya.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, organisasi teknologi informasi (TI) enterprise mulai memahami dan menyukai manfaat dari cloud computing.

Namun kini bermunculan  berbagai istilah, seperti hybrid cloud, multi cloud, cloud bursting, dan distributed cloud, yang membuat para pemimpin TI dan stafnya harus kembali berpikir tentang implementasi komputasi awan yang tepat.

Dengan makin seringnya terdengar istilah “multi cloud”, mungkin tak sedikit orang TI yang bertanya-tanya, apakah multi cloud sekadar istilah lain untuk hybrid cloud? Ini penjelasan singkatnya.

Strategi multi cloud menggunakan dua atau lebih layanan cloud computing, yang bisa berupa Software as a Service (SaaS) maupun Platform as a Service. Namun secara umum, multi cloud mengacu pada paduan lingkungan Infrastructure as a Service, misalnya AWS dan Microsoft Azure.

Multi cloud merupakan mix & match layanan cloud dari berbagai penyedia layanan. Strategi ini ditempuh untuk memenuhi kebutuhan workload yang spesifik. Layanan-layanan ini tidak terkoneksi atau terorkestrasi satu sama lain.

Sedangkan hybrid cloud adalah gabungan antara private cloud on premises dan public cloud dari penyedia layanan pihak ketiga dengan orkestrasi di antara keduanya.

Radhesh Balakrishnan, GM Open Stack, Red Hat, kepada Enterprisersproject.com memberikan satu perbedaan yang lebih simpel di antara keduanya: multi cloud merupakan cara implementasi dan pengelolaan secara menyeluruh. Sedangkan hybrid cloud mengacu kepada portofolio teknologi yang melandasi cloud computing.

Kelly Begeny, Channel Manager DSM Technology Consultant memandang multi cloud lebih sebagai sebuah strategi di mana di dalamnya melekat karakter multi vendor. Sementara itu, hybrid cloud adalah paduan antara lingkungan public dan private cloud (on premises maupun managed/hosted) yang memampukan para CIO mencocokkan dan memindahkan workload ke lingkungan cloud yang tepat di waktu yang tepat pula, sesuai kebutuhan bisnis maupun teknologi. Strategi multi cloud dapat menjadi enabler bagi model hybrid cloud.

Dari sisi adopsi, Right Scale Cloud Computing Trends: 2018 State of the Cloud Survey mengungkapkan bahwa strategi multi cloud masih menjadi pilihan perusahaan, meskipun presentase perusahaan yang menggunakan multiple cloud berkurang sedikit dari 85 persen di tahun 2017 menjadi 81 persen di tahun 2018.

Di sisi lain, jumlah perusahaan yang menerapkan strategi hybrid berkurang, dari 58 persen di tahun 2017 menjadi 51 persen di tahun 2018. Sedangkan jumlah organisasi yang menggunakan strategi multiple public cloud atau multiple private cloud tumbuh meski angka pertumbuhannya tidak terlalu besar, yaitu  masing-masing sebesar satu persen dan tiga persen.

Alasan Adopsi Multi Awan

Awalnya, strategi multi cloud  diterapkan karena perusahaan atau organisasi tidak yakin dengan keandalan atau reliabilitas cloud. Multi cloud dipandang sebagai cara mencegah data loss atau downtime karena komponen-komponen lokal di cloud gagal berfungsi. Alasan lain adalah menghindari perusahaan dari vendor lock-in.

Ada satu fakta menarik yang diungkap oleh Mary Meeker dalam 2017 Internet Trends Report. Kekhawatiran para CIO tentang keamanan, khususnya terkait public cloud menurun, tapi kemasygulan para pemimpin TI terhadap vendor lock-in justru meningkat.

Pada tahun 2012, 42% responden menyebutkan data security sebagai satu dari tiga kekhawatiran terbesar mereka. Namun keprihatinan tersebut hanya melanda 35 persen dari responden di tahun 2015. Sebaliknya, pada tahun 2012, hanya tujuh persen responden mengkhawatirkan vendor lock-in tapi tiga tahun kemudian, ada 22 persen responden mengungkapkan kekhawatirannya tentang hal tersebut.

Redundansi dan vendor lock-in masih menjadi alasan untuk multi cloud deployment dewasa ini, tapi adopsi ini juga didorong oleh tujuan bisnis dan teknis yang lebih luas. Tujuan bisnis tersebut misalnya menggunakan layanan cloud yang lebih kompetitif harganya atau meraih keuntungan dari kecepatan, kapasitas, atau fitur yang ditawarkan oleh provider cloud tertentu yang berada di area tertentu.

Beberapa organisasi menerapkan strategi multi cloud karena alasan kedaulatan data (data sovereignity). Hukum, regulasi, dan kebijakan perusahaan tertentu mengharuskan data perusahaan secara fisik berada di lokasi-lokasi tertentu. Fleksibilitas dalam hal lokasi data ini memampukan perusahaan mencari sumber daya komputasi sedekat mungkin dengan end user agar kinerjanya optimal dengan latency minimal.

Strategi multi cloud juga memampukan perusahaan memilih berbagai layanan atau fitur cloud dari provider yang berbeda. Misalnya, platform cloud tertentu dapat menangani request per unit waktu dalam jumlah besar tapi transfer data rata-ratanya tidak besar. Sementara platform cloud lain mungkin akan lebih baik kinerjanya untuk request per unit waktu bervolume kecil tapi melibatkan data transfer yang besar. Beberapa cloud provider juga menawarkan tool-tool atau kemampuan khusus, misalnya big data analytics atau machine learning.

Perhatikan Dua Isu

Multi cloud, seperti inisiatif-inisiatif TI yang signifikan lainnya, melibatkan tantangan yang berpotensi menjerumuskan perusahaan jika tanpa perencanaan.

Pertama-tama, perusahaan harus memerhatikan masalah pemilihan vendor dan migrasi awal, khususnya bagi perusahaan yang akan beralih dari data center tradisional ke lingkungan multi cloud.

Pemilihan vendor harus diikuti dengan pemahaman mendalam terhadap platform cloud yang ditawarkan para vendor, terutama dari sisi perbedaan harga, keamanan, compliance, dan area-area lainnya.

Karena tiap vendor memiliki penawaran dan kemampuan yang berbeda-beda, perusahaan harus memerhatikan tantangan dalam menangani portal pengelolaan dan proses yang berbeda-beda. Para CIO harus memastikan compliance, cara pengamanan lingkungan cloud dari ancaman, dan membandingkan berbagai tawaran harga dan opsi billing dari setiap provider.

Tantangan kritis lainnya adalah membangun model tanggung jawab bersama antara organisasi TI dan penyedia layanan cloud. Adalah penting untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kontrol dan proses keamanan, baik dari perspektif compliance maupun security.

Kepada Computerweekly.com, Tom McAndrew, CIO Coalfire, memaparkan betapa seringnya ia melihat organisasi TI yang hanya memerhatikan tempat penyimpanan data tapi tak cukup memberi perhatian pengakses data-data tersebut. Hal ini adalah satu contoh ketidakpahaman tanggung jawab bersama sehingga solusi cloud yang diimplementasikan tidak terkonfigurasi dengan benar.

Kemudahan memperoleh layanan cloud juga berpotensi menimbulkan shadow IT yang dapat mengundang ancaman signifikan di sisi keamanan maupun kepatuhan. Venkat Ramasamy, Chief Operating Officer, FileCloud seperti dikutip dari Computerweekly.com menyarankan agar perusahaan meningkatkan visibilitas terhadap semua cloud instances dan services. Setelah itu, perusahaan harus menentukan sistem dan alert terotomatisasi yang dibutuhkan untuk memberi notifikasi kepada tim keamanan ketika terjadi potensi risiko.