Saat ini pabrikan ponsel di Indonesia ramai-ramai membuat sub-brand yang fokus menjual ponsel murah seperti Xiaomi membuat Redmi dan Pocophone, Huawei dengan Honor dan Oppo dengan Realme.
Analis pasar IDC Indonesia, Rizky Febrian mengatakan vendor yang memiliki sub-brand tersebut ingin masuk ke segmen pasar tertentu tanpa perlu membawa citra dari merk induk.
"Ingin mengubah image secara total dan ingin menciptakan sesuatu yang berbeda," kata Rizky.
Merk baru sengaja dibuat sama sekali berbeda agar produk-produknya dapat keluar dari citra merk induk, seperti yang terjadi dengan Realme yang menargetkan segmen menengah ke bawah dan Oppo untuk ponsel kelas menengah hingga premium.
Resikonya, strategi itu memiliki kemungkinan untuk mematikan merk induk jika produk-produk yang dihadirkan bersinggungan, bisa dari harga atau segmen kelas yang ditargetkan.
Namun, ketika disinggung apakah fenomena sub-brand kelas low end seperti ini dapat mematikan vendor lokal.
Rizky mengatakan vendor lokal yang memiliki sumber daya besar, seperti Advan dan Evercoss, tidak akan langsung keluar dari pasar meski pun persaingan di segmen ponsel murah semakin ketat.
Harga Mahal
Firma analis IDC dengan lantang menyebut 2018 sebagai “tahun terburuk untuk industri smartphone”.
Bagaimana tidak, penjualan smartphone global turun 4,1 persen pada 2018 lalu, dibandingkan pada 2017.
Hanya 1.404 juta unit smartphone yang beredar di pasaran selama setahun belakangan. Padahal, sepanjang 2017, pengapalan smartphone mencapai 1.465 juta unit.
Samsung dan Apple sebagai “raja smartphone” mencatat rapor minus, masing-masing pengapalannya turun 8 persen dan 3,2 persen.
Ini sekaligus menandai kali pertama bisnis smartphone Apple menciut, setelah lebih dari satu dekade beroperasi.
“Di luar pertumbuhan yang signifikan di beberapa negara seperti India, Indonesia, Korea, dan Vietnam, kami tak melihat ada aktivitas positif sepanjang 2018,” kata analis IDC, Ryan Reith.
“Secara global, pasar smartphone saat ini sedang kacau,” ucapnya seperti dilansir Mashable.
Apa sebabnya?
Lantas, apa yang menyebabkan kondisi industri smartphone lesu? Menurut IDC, masyarakat sepanjang 2018 cenderung menahan diri untuk membeli smartphone baru.
Hal ini tak lepas dari harga smartphone yang semakin mahal, misalnya saja Apple yang tak ragu mematok harga iPhone tembus 1.000 dollar AS (Rp 14 jutaan).
Faktor lainnya adalah situasi ekonomi yang tak tentu, terutama di China yang sedang bersitegang dengan Amerika Serikat. Kondisi di China sangat berpengaruh, mengingat populasinya paling tinggi.
Sebanyak 30 persen konsumsi smartphone di seluruh dunia berasal dari China. Sepanjang 2018, penjualan smartphone di Negeri Tirai Bambu itu turun 10 persen. Selain IDC, firma analis Canalys juga melaporkan kondisi industri smartphone yang mengkhawatirkan.
Canalys mencatat penurunan pasar smartphone 4,6 persen dari tahun ke tahun. “Orang-orang bertahan dengan smartphone lama mereka karena inovasi produk yang lambat,” kata analis Canalys, Ben Stanton.
Tantangan bagi vendor smartphone diprediksi bakal berlanjut hingga tahun ini. Untuk menggenjot penjualan, kata Ben Stanton, perusahaan smartphone harus muncul dengan produk yang menarik dari segi inovasi, desain, dan harga.
“Kemunculan smartphone 5G dan desain lipat akan membawa era baru bagi industri smartphone. Namun, kami harap perangkat-perangkat baru itu dijual terjangkau,” ucapnya.