Find Us On Social Media :

Menanti Hadirnya Mekanisme Perlindungan Hukum Korban Pinjaman Online

By Wisnu Nugroho, Rabu, 6 Februari 2019 | 08:42 WIB

Ilustrasi pinjaman online

Teror yang dialami Erna dan Fivi seperti kami tulis di sini ternyata banyak terjadi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut ada 1330 pengaduan secara nasional yang masuk ke posko pengaduan mereka.  Jumlah tersebut terus bertambah seiring terungkapnya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pinjaman online, baik yang legal maupun ilegal.

Selain itu, setidaknya ada 14 jenis pelanggaran hukum dan hak konsumen yang dilakukan oleh penagih perusahaan pinjaman online.

Jenis pelanggaran yang terjadi seperti bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan (1145 pengaduan), penagihan yang dilakukan bukan kepada peminjam atau kontak darurat (1100 pengaduan), penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada di smartphone peminjam (903 pengaduan), sampai penyebaran data pribadi (915 pengaduan).

Ini adalah 14 jenis pelanggaran yang terjadi saat penagihan pinjaman online

Jeanny Silvia Sari Sirait (pengacara publik LBH Jakarta) mengungkapkan, permasalahan yang dialami oleh korban berasal dari minimnya perlindungan data pribadi. Jeanny juga menyebut, ada 89 perusahaan aplikasi pinjaman online di Indonesia yang melakukan pelanggaran, dan 25 di antaranya adalah aplikasi yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pihak LBH menganggap, perbedaan pelanggaran yang dilakukan oleh aplikasi terdaftar maupun tidak terdaftar di OJK tidak signifikan. Dengan kata lain, layanan yang terdaftar di OJK pun tetap melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, termasuk hak-hak konsumen.

Mirisnya, lebih dari 80% pengguna aplikasi pinjaman online yang mengadu ke LBH Jakarta memiliki pinjaman pokok di bawah Rp.2 juta. "Ini kan menunjukkan pinjaman pokok yang dimiliki korban pengguna aplikasi pinjaman online sebenarnya tidak besar," ujar Jeanny.

Namun dengan nilai pinjaman yang kecil tersebut, nasabah harus menanggung berbagai  pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Lebih buruk lagi, muncul akibat memilukan akibat gagal bayar pinjaman, mulai dari kehilangan pekerjaan, mengalami pelecehan seksual, berpisah dengan pasangan, berupaya menjual organ tubuh, bahkan mencoba bunuh diri.

Langkah Antisipasi

Pihak OJK bukannya tidak mencoba membatasi ekses dari pinjaman online ini. Salah satunya dengan secara rutin mengumumkan penyelenggara pinjaman online yang terdaftar dan berizin. Sampai Desember 2018, satu perusahaan sudah mengantongi izin (yaitu aplikasi Danamas dari PT. Pasar Dana Pinjaman), sementara 87 perusahaan telah terdaftar.

Pada tanggal 14 Desember 2018, OJK bersama dengan LBH, korban dan perusahaan juga telah melakukan pertemuan untuk membahas permasalahan ini. Namun banyak dari korban merasa tidak puas dan menuntut tindak lanjut dari OJK, khususnya terkait kejelasan regulasi. "Kami para korban di bawah naungan LBH Jakarta menuntut OJK selaku regulator jasa keuangan untuk membuat aturan baru yang lebih jelas  dan tertulis terkait bunga dan sistem penagihan," tegas Fivi lagi.

Menindaklanjuti hasil pertemuan OJK dengan LBH, Sekar Putih Djarot (juru bicara OJK) menyebut OJK sudah meminta LBH Jakarta untuk memberikan daftar nama pinjaman online legal yang diduga melakukan pelanggaran. Selain itu, OJK juga telah mengumpulkan seluruh penyelenggara pinjaman online yang diduga LBH Jakarta melakukan pelanggaran dan meminta mereka menyampaikan klarifikasi penyelesaian pengaduan konsumen. Terhadap yang belum melakukan klarifikasi, OJK telah mengingatkan kembali dan akan memberikan sanksi bagi yang tidak mematuhi.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga telah membuat pedoman perilaku bagi seluruh anggotanya yang mengatur tentang total biaya pinjaman, biaya keterlambatan, dan biaya yang ditanggung peminjam. Pedoman perilaku ini juga mengatur tata cara penagihan, termasuk menggunakan agen penagihan yang telah mengantongi sertifikasi dari AFPI. "Pedoman perilaku tersebut harus dipatuhi oleh anggota AFPI. Bila dilanggar, ada sanksi hingga pemberhentian sebagai anggota asosiasi," tutur Sekar.

Mengenai keberadaan P2P lending yang tidak mengantongi izin OJK, Sekar menyebut ada Satgas Waspada Investasi (SWI) yang merupakan forum koordinasi 13 lembaga dan kementerian (termasuk OJK). Melalui SWI ini, OJK mengajukan rekomendasi tindak lanjut atas layanan pinjaman online ilegal kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Hasilnya, sejak awal tahun 2018, ada lebih dari 400 pinjaman online ilegal yang telah ditutup.

Meski usaha preventif terus dilakukan, pihak OJK dan LBH belum satu suara dalam mencari solusi pinjaman online ini. Di satu sisi, pihak OJK mengeluh LBH tidak jua menyerahkan daftar penyelenggara pinjaman online yang dituduh melanggar aturan. Sementara di sisi lain, pihak LBH bersikeras hanya akan memberikan data secara bertahap. “Jadi bukan berarti kami tidak mau menyerahkan datanya” ungkap Jeanny.Pendek kata, belum ada solusi komprehensif untuk mencegah jatuhnya korban akibat penyelenggaraan pinjaman online. Jika terus begini, kisah pilu korba pinjaman online bisa jadi akan terus berulang.