Seiring berganti generasi, cara mencari pasangan turut berevolusi. Dari sayembara atau perjodohan pada era pra-milenium, kini cukup melalui gadget yang bisa jadi medium. Saat ini, ada banyak aplikasi kencan online bertebaran.
Salah satu yang paling populer adalah Tinder. Dalam laporan keuangannya akhir tahun lalu, Tinder mengklaim memiliki 4,1 juta pelanggan berbayar di seluruh dunia.
Bermodalkan gadget yang terkoneksi internet, maka pencarian jodoh bisa dengan mudah dilakukan.
Cukup swiper-left (usap kiri) jika kurang tertarik dengan calon yang disodorkan, atau swipe-right (usap kanan) jika dirasa ingin berkenalan.
Tapi bagaimana bisa, sebuah aplikasi menyomblangkan penggunanya?. Apakah algoritma bekerja secara acak memilihkan beberapa calon bagi penggunanya ataukah ada resep khusus?.
Menjawab pertanyaan tersebut, CEO Tinder, Sean Rad mengatakan bahwa aplikasi besutanya menggunakan sistem bernama "Elo Score" skor elo. Skor ini umum digunakan sebagai tolok ukur kemampuan seorang pecatur.
Merangking pengguna Tim backend Tinder mengalkulasi untuk nantinya merangking pengguna berdasarkan yang paling banyak di-swipe-right hingga yang paling sedikit. Skor ini tidak muncul di publik untuk alasan tertentu.
Sistem inilah yang menjadi dasar analisis perjodohan digital. Dengan sistem ini, Tinder bisa memunculkan lebih banyak peluang perjodohan berdasarkan kompatibilitas skor.
Skor elo ibarat sebuah proposal, yang digunakan untuk menentukan kepada siapa profil Anda akan ditujukan.
Rad menekankan bahwa skor ini secara teknis tidak mengukur tingkat ketertarikan, namun lebih kepada seberapa "diinginkannya" pengguna tersebut dengan menggabungkan algoritma yang lebih kompleks.
Ia mengatakan bahwa ketertarikan bisa saja hanya ditentukan berdasarkan seberapa menarik foto profil yang dipasang pengguna.
"(Kecocokan) ini tidak hanya mengukur seberapa banyak orang yang memilih (swipe-right) Anda. Ini lebih rumit. Cara ini membutuhkan waktu dua setengah bulan untuk kami membangun algoritma, karena banyak sekali faktor yang tercakup di dalamnya," jelas Rad.
Ia tidak menjelaskan secara detail faktor-faktor seperti apa yang dimaksud. Namun bisa dibayangkan kemungkinan-kemungkinan informasi pengguna yang digunakan untuk merangking daftar yang "diinginkan".
Informasi itu bisa saja tentang seberapa banyak pengguna yang pilihannya tidak bertepuk sebelah tangan - sama-sama menggunakan gestur swipe right - lalu seberapa banyak pula yang Anda swipe-left atau tolak.
Informasi tambahan lain seperti pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya bisa jadi dilibatkan untuk menentukan skor.
Jodoh yang sepadan Jonathan Badeen, VP Product Tinder, lantas mengilustrasikan cara Tinder mencocokan skor elo pengguna dengan pengguna lainnya. Ia mengibaratkan seperti bermain video game Warcraft.
"Kapanpun Anda bermain dengan orang yang memiliki skor lebih tinggi, Anda akan berakhir dengan skor tinggi, dibanding jika Anda bermain dengan orang yang memiliki skor rendah," jelasnya.
Sederhananya, jika skor Anda 8, pengguna yang akan melihat profil Anda tidaklah mungkin di bawah skor 8, maupun di atasnya.
"Itulah yang mendasari perjodohan pengguna dan merangking mereka dengan lebih cepat serta akurat, berdasarkan kepada siapa mereka dicocokan," imbuhnya.
Skor Elo bisa diubah dengan memodifikasi profil lebih baik, seperti memasang foto profil terbaik dan memuat informasi lebih banyak. Salah satu Tinderella - pengguna Tinder wanita - mengungkapkan di forum tanya jawab Quora bahwa menjadi terlalu pemilih di Tinder juga tidak baik untuk skor elo.
Akan tetapi, jika Anda sering swipe-right secara acak tanpa melihat-lihat, Tinder juga tidak akan menyodorkan calon pasangan lebih banyak.
Hasil Akhir di Tangan Pengguna
Di balik dapur algoritma Tinder dengan segala kerumitan skor elo yang disusun, pada akhirnya pengguna lah yang menentukan.
Seperti dikatakan sebelumnya, ada banyak faktor yang digunakan untuk memintal algoritma demi memudahkan pengguna menemukan calon pasangan yang cocok.
"Tiap kali Anda usap ke kanan kepada orang tertentu dan usap ke kiri pada orang lainnya, maka pada dasarnya Anda mengatakan bahwa 'orang ini lebih saya inginkan dibanding orang lain'," jelas data analis Tinder, Chris Dumler seperti dikutip Fast Company.
Ia menjabarkan, cara memilih ini ibarat meberikan hak suara kepada seseorang dibanding orang lainnya dengan segala motivasi yang dimiliki si pemilih.
Motivasi tersebut bisa macam-macam, bisa saja memang karena tertarik atau mungkin kerana profilnya sangat bagus.
Para teknisi Tinder di belakang layar menggunakan informasi-informasi ini untuk mempelajari bagaimanakah profil yang memiliki daya pikat secara menyeluruh. Menurut Solli-Nowlan, salah satu teknisi Tinder, skor elo bukanlah daya tarik universal.
Artinya, penetuan diinginkan atau tidak akan kembali ke pengguna. Misalnya pada foto profil, bisa jadi ada pengguna yang menyukai foto profil seseorang saat terjun payung karena menurutnya orang tersebut menyukai petualangan dan tantangan.
Namun, pasti ada sebagian orang yang tidak suka atau bahkan tidak melirik foto profil tersebut. Pada akhirnya, Tinder, dan beragam aplikasi kencan online lainnya hanya berupa medium.
Pekara perjodohan Tinder berhasil atau tidak, kembali lagi ke pengguna, bukan algoritma.