Ada fakta menarik dari survei Industry 4.0: Global Digital Operations Study 2018 yang dirilis PwC. Pada survei yang dilakukan pada 1155 eksekutif industri manufaktur dari 26 negara, PwC menemukan hanya 10% perusahaan yang berhasil memanfaatkan teknologi digital untuk mendukung performa bisnisnya. Sementara, 66% perusahaan belum memiliki strategi yang jelas menghadapi masa depan mereka di era digital.
Lalu, bagaimana perusahaan dapat mengatasi tantangan tersebut? Menurut Vaness Yew (Chief Technical Officer Huawei Indonesia), jawabannya bukan melulu soal teknologi. “Menurut saya, kunci dasarnya adalah perubahan pola pikir” ungkap Vaness.
Visi Jelas
Vaness sendiri adalah sosok yang tepat untuk bicara soal teknologi dan bisnis. Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknis, Vaness memulai karir di Huawei 12 tahun lalu di bidang R&D untuk core network. Namun karir Vaness kemudian menanjak di area bisnis, yang mendorongnya pindah dari kantor pusat di Shenzhen ke Jakarta di tahun 2010. Kini ia dipercaya menjadi Chief Technical Officer Huawei Indonesia, dengan tanggung jawab utama membantu perusahaan Indonesia memanfaatkan teknologi untuk kemajuan bisnis.
Menurut Vaness, perubahan pola pikir harus dilakukan karena era Industri 4.0 memiliki perbedaan konsep yang mendasar. “Di era sebelumnya, pendekatannya berkonsep business to customer” ungkap Vaness menjelaskan. Berbekal market survey atau market insight, perusahaan melempar produk ke pasaran dengan harapan produk tersebut dibutuhkan konsumen.
Sementara di era Industri 4.0, konsepnya adalah customer to business. Perusahaan harus dapat menangkap kebutuhan tiap konsumen, sehingga dapat melakukan personalisasi serta tahu persis volume yang akan diserap pasar. “Untuk memahami pasar inilah, perusahaan membutuhkan gabungan dari beberapa teknologi” tambah Vaness.
Menurut Vaness, ada tiga layer penting yang dapat digunakan perusahaan untuk memahami pasar. Layer pertama adalah data lapangan yang salah satunya didapat dari sensor. Layer kedua adalah komunikasi yang mengirim semua data tersebut ke sistem. Sementara layer ketiga adalah cloud computing dan sistem komputasi yang dapat mengolah data tersebut. Jika tiga layer tersebut berhasil dikelola, perusahaan akan lebih mudah menyediakan produk dan solusi yang diinginkan pasar.
Bahkan di banyak kasus, informasi kebutuhan konsumen akan membantu perusahaan mendapatkan model bisnis baru. Vaness mencontohkan salah satu perusahaan air minum di Yintang, China, yang mengubah model bisnis distribusi airnya berbasis filter air.
“Awalnya mereka mendapati, konsumen di kota tersebut menggunakan filter air karena tidak percaya dengan kualitas air yang mereka terima” cerita Vaness. Konsumen rela melakukan hal tersebut, meski mereka harus mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk membeli filter yang secara reguler harus diganti.
Melihat fenomena tersebut, salah satu perusahaan air minum mengubah model bisnisnya. Mereka tidak lagi mengenakan biaya berbasis volume air yang digunakan konsumen, namun berbasis penggantian filter dalam periode tertentu. Perusahaan air minum ini berani melakukan hal tersebut, karena sudah menanamkan sensor di filter air tersebut, sehingga mereka tahu persis kapan filter harus diganti.
Perubahan model bisnis ini menguntungkan kedua belah pihak. Di pihak konsumen, biaya yang harus dibayar menjadi turun dan mereka tak perlu lagi repot mengganti filter. Sementara di pihak produsen, mereka memiliki keunggulan kompetitif yang membuat konsumen setia.
Menambahkan sensor ke filter air memang akan menambah ongkos produksi perusahaan air minum tersebut. “Namun dengan sensor, mereka juga dengan cepat mengetahui saat terjadi kebocoran air, sehingga efisiensi pun meningkat” ungkap Vaness. Walhasil jika dilihat dari perspektif bisnis secara keseluruhan, model bisnis baru berbasis teknologi ini lebih menguntungkan dibanding pendekatan lama.