Adopsi teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence ( AI) di Indonesia masih minim.
Setidaknya begitu menurut survei terbaru yang diadakan Microsoft bersama dengan IDC, dalam laporan bertajuk "Future Ready Business: Assessing Asia Pasific's Growth Potential Through AI".
Dalam laporan tersebut, hanya 14 persen perusahaan di Indonesia yang telah totalitas mengadopsi AI. Namun bukan berarti perkembangannya akan stagnan, justru diproyeksikan makin pesat.
Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Haris Izmee, mengatakan bahwa dalam tiga tahun mendatang, produktivitas dan inovasi pekerja di Indonesia akan tumbuh sekitar dua kali lipat berkat adopsi AI di banyak perusahaan.
"Jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia Pasifik dengan nilai 42 persen, Indonesia memiliki nilai perbaikan inovasi sebesar 57 persen di tahun 2021," kata Haris di Jakarta.
"Sedangkan produktivitas karyawan di tahun yang sama, Indonesia akan memiliki nilai sebesar 46 persen, atau 10 persen lebih tinggi dari nilai negara kawasan Asia Pasifik sebesar 36 persen," imbuhnya.
Di era serba AI, Haris menyebut ada tiga keterampilan utama yang dibutuhkan Indonesia. Pertama adalah soft skill.
Di masa yang akan datang, soft skill akan lebih banyak dibutuhkan ketimbang keterampilan teknologi, seperti keterampilan teknis atau riset dan pengembangan.
"Maksud kami disini bukan berarti keterampilan teknologi tidak penting. Sama pentingnya, tapi lebih banyak ke soft skill," ujarnya.
Ia menambahkan adopsi AI tidak semata-mata menyerahkan pada teknologi saja, tapi masih membutuhkan peran manusia di dalamnya yakni dengan kemampuan softskill. Soft skill pertama yang harus dimiliki adalah kepemimpinan (leadership) dan manajemen.
"People management itu adalah bagian dari sifat manusia untuk mengadopsi AI. Jadi itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan robot," jelasnya.