Find Us On Social Media :

Kenaikan Tarif Ojek Online Tidak Jamin Mitra Pengemudi Makin Sejahtera

By Adam Rizal, Selasa, 7 Mei 2019 | 16:00 WIB

Motorcycle taxi drivers working for online ride-hailing start-ups Grab and Go-jek protest against low tariffs outside parliament in Jakarta, Indonesia, April 23, 2018. REUTERS/Darren Whiteside

Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) mengungkapkan kenaikan tarif ojek online (ojol) tidak menjamin peningkatan kesejahteraan pengemudi.

Bahkan, peningkatan tarif itu akan menggerus permintaan pesanan ojol hingga 75 persen dan berdampak negatif kepada pendapatan ojol.

Sebelumnya, pemerintah melalui peraturan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 telah menetapkan kenaikan tarif ojol.

Ketua Tim Peneliti RISED Rumayya Batubara Ph.D mengatakan tarif baru ojek online tidak mencerminkan tarif yang akan dibayar oleh konsumen. Hal itu dikarenakan tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi.

"Tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," ujarnya Rumayya dalam keterangan pers.

Ekonom Unair itu mencontohkan bahwa asumsi tambahan biaya sewa aplikasi sebesar 20 persen, tarif batas bawah yang harus dibayar oleh konsumen di Jabodetabek adalah sebesar Rp 2.500/km, bukan seperti yang tertera di Kepmenhub yang menyatakan Rp 2.000/km.

Kemudian, dari hasil survei RISED didapatkan kenaikan tarif berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya.

Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km/hari di Zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), 8-11 km/hari di Zona II (Jabodetabek), dan 6-9 km/hari di Zona III (wilayah sisanya).

Dengan skema tarif yang berpedoman pada Kepmenhub tersebut dan jarak tempuh sejauh itu berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-11.000/hari di Zona I, Rp 6.000-15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.000- 12.000/hari di Zona III.

"Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan. Misalnya di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000-12.500," jelas Rumayya.

Rumayya mengatakan, bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp 4.000-5.000/hari. Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4 persen kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

"Total persentase kedua kelompok tersebut mencapai 75 per secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah 67% di Zona I, 82% di Zona II, dan 66% di Zona III," tambah Rumayya.

Sebagai tambahan, Rumayya juga menjelaskan bahwa rata-rata kesediaan konsumen di non-Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah sebesar Rp 4.900/hari.

Jumlah itu lebih kecil 6 peren dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang sebesar Rp 5.200/hari.

"Pemerintah perlu berhati-hati dalam pembagian tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan Pemerintah," tegas Rumayya.

Rumayya mengatakan sebanyak 52,4 persen konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu dan metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan.

"Perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen," ucap Rumayya.

Survei RISED itu berjudul "Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia". Penelitian itu dilakukan untuk mengetahui respon konsumen terhadap kebijakan kenaikan tarif yang berpedoman pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019, sekaligus memberikan gambaran terkait willingness to pay (kesediaan membayar) konsumen terhadap layanan ojol.

Survei dilakukan pada 3000 konsumen ojol di 9 wilayah di Indonesia yang mewakili 3 zona yang disebut dalam Kepmenhub tersebut, yaitu Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang, dan dilakukan dari 29 April sampai 3 Mei 2019.

Inflasi Pada Bulan Ramadan

Sementara itu, Ekonom UI Dr. Fithra Faisal menyayangkan momentum kenaikan tarif ojol yang terjadi sesaat sebelum Bulan Ramadan.

Seperti diketahui, inflasi cenderung meningkat saat Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, menyusul tingginya permintaan masyarakat bagi sejumlah komoditas seperti makanan/minuman dan sandang.

"Kenaikan tarif ojol yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi semakin tingginya tingkat inflasi. Apalagi berdasarkan hasil survei RISED, biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20 persen bagi pengeluaran konsumen per bulannya," ujar Fithra.

Rumayya mengatakan pemerintah harus mengevaluasi regulasi tarif dalam bisnis ojol karena berkurangnya permintaan ojol akan berdampak negatif pada penghasilan pengemudi karena konsumen enggan menggunakan ojol lagi.

"Perlu evaluasi berkala dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, supaya bisa meninjau efektivitas kebijakan terhadap kesejahteraan konsumen dan pengemudi," tutup Rumayya.