“Kami makmur hidupnya, kami bahagia, karena kami hidup seimbang dan selaras dengan alam. Masyarakat Asmat itu menghargai alam sebagai saudara kami sendiri. Kami biasa masih ke hutan, cari sagu, buru babi, kami pulang ke kampung untuk tokok sagu”, ucap Petrus dengan penuh semangat.
Dari berbagai hal yang diceritakan, memang jelas terlihat bahwa masyarakat Asmat hidup sangat dekat––tidak hanya lokasinya––dengan alam. Meski begitu, bukan berarti masyarakat Asmat tidak bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan modern.
Sekolah, obat-obatan, dan beberapa fasilitas kesehatan juga bersentuhan dengan mereka. Menurut Martinus, hal-hal seperti ini tidak merusak budaya dan nilai-nilai hidup mereka.
“Selain obat di puskesmas, kami dari leluhur sudah punya obat alam. Walau ada puskesmas, Itu hanya pelengkap saja.”
Berbagai cerita hari itu membuat kami tidak menyadari bahwa Matahari sudah melangkah ke barat. Kami pun harus menyudahi pertemuan kami hari itu, dan kembali ke tempat kami bermalam.
Malam itu, kami tidak mendengar suara pukulan tifa di Kampung Bayiw Pinam. Tidak juga terdengar lagu-lagu adat yang dinyanyikan. Hanya suara katak pohon yang saling bersahutan, dan suara desiran angin malam yang berbisik lembut pada daun-daun di pepohonan tua yang rindang.
Di kampung yang belum dialiri listrik ini, hanya sinar bulan purnama yang menjadi penerang kami malam itu.