Calon pembeli ponsel kelas menengah di Indonesia saat ini akan menjumpai berbagai macam pilihan di pasaran, dari beraneka merek pula. Para pabrikan seakan getol menyerbu segmen tersebut dengan produk masing-masing.
Apa sebabnya?
Djatmiko Wardoyo (Direktur Pemasaran dan Komunikasi dari distributor ponsel PT Erajaya Swasembada) mengatakan bahwa pasaran ponsel menengah di kisaran harga Rp 2-4 juta sekarang memang yang paling “gemuk” dalam hal volume penjualan.
“Makanya, perang di segmen itu gila-gilaan,” ujar Djatmiko saat diwawancarai beberapa waktu lalu.
Selain dari jumlah penjualan, pasaran menengah ini pun menggiurkan bagi para vendor smartphone lantaran bisa memberikan margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan kelas di bawahnya.
Risky Febrian (Market Analyst dari lembaga riset pasar IDC) mengatakan bahwa margin untuk segmen ultra low-end dan low-end sangat tipis sehingga menyulitkan vendor untuk mendulang untung.
“Beda dengan di mid-range. Mereka bisa mendapatkan margin yagn lebih besar sehingga bisa belanja lebih besar pila untuk keperluan promosi, marketing, dan lain-lain,” ujar Risky.
“Artinya vendor ini punya budget yang lebih besar untuk pasar menengah," ujarnya.
Maka, tak heran jika aneka reklame, baik konvensional maupun elektronik dan digital, yang mengiklankan produk ponsel kelas menengah kemudian banyak bertebaran. Produk smartphone kelas atas atau high-end sebenarnya juga memberikan margin yang besar.
Namun, segmen ini sudah dikuasai oleh segelintir pabrikan saja seperti Apple dan Samsung serta sulit ditembus oleh pemain lain.
LG sudah lempar handuk di Indonesia, sementara Huawei agresif namun belakangan tersandung persoalan buntut perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Selera konsumen makin “mahal” Kamera seflie model pop-up, salah satu inovasi yang diterapkan pabrikan ponsel untuk menunjang penampilan dan teknologi di produknya di kelas menengah.
Selain menarik buat vendor, perkembangan pasar smartphone kelas menengah di Indonesia juga didukung oleh selera konsumen yang semakin “mahal”.
Data IDC mengungkapkan porsi penjualan ponsel kelas menengah mengalami pertumbuhan signifikan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Dari 29,3 juta unit jumlah pengiriman smartphone pada 2015, IDC mencatat hanya 7,4 persen yang disumbang oleh ponsel mid-range di kisaran harga Rp 2,9juta -5,7 juta (200-400 dollar AS).
Sebagian besar, yakni 52,5 persen, masih dikuasai ponsel ultra low-end berharga murah di bawah Rp 1,4 juta (100 dollar AS).
Pada 2018, keadaan pasar sudah banyak berubah. Ponsel mid-range menyumbang 29,9 persen dari total pengiriman sebanyak 34,8 juta unit, lebih banyak dari ponsel ultra low-end yang hanya berkontribusi 24,5 persen tahun lalu.
Segmen low-end di kisaran Rp 1,4 juta-2,9 juta juga mengalami kenaikan dari 38,1 persen di 2015 menjadi 41,3 persen di 2018.
Sementara itu, segmen lain dengan harga Rp 5,7 juta ke atas turut meningkat, meski proporsi angka pengirimannya relatif kecil dibandingkan ponsel berharga Rp 5,7 juta ke bawah, yang pada 2018 menguasai lebih dari 95 persen pasaran ponsel di Indonesia, menurut data IDC.
Artinya, konsumen smartphone di Indonesia semakin melirik produk berharga lebih tinggi, tak lagi melulu berkutat dengan ponsel murah meriah.
Para produsen pun berlomba-lomba mencuri perhatian konsumen lewat inovasi teknologi dan desain yang diterapkan di smartphone kelas menengah masing-masing, mulai dari kamera “pop-up” hingga pemindai sidik jari yang ditanam di latar.
Menurut Risky, hal ini perlu dilakukan karena konsumen Indonesia memang cenderung menyukai sesuatu yang dipandang kekinian.
“Tren yang baru itu lebih disukai. Selain spesifikasi, mereka juga kritis soal desain,” pungkasnya.