Kecepetan internet generasi kelima atau 5G dalam uji coba yang digelar operator seluler Smartfren di Marunda, Jakarta Utara, Senin, menembus angka 8,7 Gbps di spektrum frekuensi 28 GHz (Millimeter Wave).
Uji coba 5G dilakukan secara khusus di jalur logistik kawasan pengiriman barang PT. Sinarmas Agro Resources and Technology Tbk (PT. SMART, Tbk), di Marunda, Jakara Utara.
Angka ini disebut masih bisa dimaksimalkan hingga 9 Gbps. Uji coba dipraktikan dengan mendemontrasikan penggunaan virtual reality (VR) untuk mengontrol gudang logistik.
VR akan terhubung dengan kamera 360 derajat di beberapa area berbahaya yang tidak memungkinkan akses manusia. Server dari kamera ke VR tersebut membutuhkan akses data yang sangat tinggi agar pengawasan bisa dilakukan secara real time.
Di sinilah jaringan 5G yang menjanjikan bandwidth lebar dan latency rendah dibutuhkan. VR ini juga bisa melihat lebih dekat jika terjadi masalah di titik tertentu dengan bantuan drone atau pesawat tanpa awak, sehingga operator pabrik tidak perlu hadir di lokasi.
Cakupan 5G dari uji coba ini disebut mencapai 200-300 meter jika menempatkan menara pemancar sinyal (BTS) di luar area pabrik. Namun saat pengujian, cakupannya diklaim hanya mencapai 70 meter karena berada di dalam ruangan.
Munir Syahda Prabowo, Vice President Network Smartfren mengatakan, diperlukan BTS lebih banyak lagi jika ingin memonitor satu kawasan pabrik yang ujung-ujungnya mempengaruhi nilai investasi.
Sayangnya, Munir enggan menyebut berapa nilai investasi,baik dalam penyelenggaraan uji coba ini maupun implementasi 5G yang ditargetkan akan terwujud pada tahun 2020. Dalam uji coba ini, Smartfren bekerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai penyedia spektrum frekuensi dan perusahaan teknologi asal China, ZTE.
Butuh investasi besar
Merza Fachys, Presiden Direktur Smartfren mengatakan, frekuensi 28 GHz dipilih karena menjadi salah satu band yang ekosistemnya paling siap. Akan tetapi, Merza juga mengatakan bahwa penggunaan frekuensi ini memiliki tantangan kalau digunakan ke masyarakat luas.
"Karena 28 GHz akan membutuhkan investasi yang tinggi," jelas Merza.
Hal senada juga diungkap Denny Setiawan, Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI. Maka dari itu, Denny mengatakan pemerintah sedang mengkaji lagi tata ulang frekuensi.