Selama gelaran pilpres 2019 lalu, masyarakat dibanjiri informasi hoaks yang meresahkan dan memecah belah kebersamaan.
Laporan ke polisi datang silih berganti, sehingga energi kepolisian dan masyarakat seolah terkuras untuk mengurusi hal-hal negatif yang tidak jelas.
Meski sudah ada beberapa orang pelaku pembuat dan penyebar hoaks yang ditahan, ternyata tak membuat penyebaran hoaks berhenti.
Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Henri Subiakto mengatakan, terjadi hoaks yang begitu masif selama pelaksanaan Pemilu 2019.
Padahal, sebenarnya ada ciri tertentu yang menandakan bahwa suatu informasi merupakan hoaks atau berita bohong.
1. Identitas penyebar info tidak jelas
"Ciri hoaks yaitu sumber informasi atau medianya tidak jelas identitasnya, mengeksploitasi fanatisme SARA," kata Henri dalam focus group discussion berjudul " Hoaks dalam Pemilu 2019" di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat.
2. Tidak mengandung 5W+1H
Selain itu, suatu informasi juga diduga sebagai hoaks jika pesannya tidak mengandung 5W+1H lengkap, yaitu, - what (apa), - when (kapan), - who (siapa), - why (mengapa), - where (di mana), dan - how (bagaimana).
3. Minta disebarluaskan
Ciri lain berita hoaks adalah pihak yang menyebarkan informasi meminta info tersebut disebarluaskan semasif mungkin. "Pesan hoaks dirancang untuk menciptakan kecemasan, kebencian, kecurigaan atau ketidakpercayaan hingga permusuhan," ujar Henri.
4. Menyasar kalangan tertentu
Henri mengatakan, hoaks diproduksi untuk menyasar kalangan tertentu Mereka yang menjadi target antara lain, masyarakat mayoritas dan orang perkotaan.
Dibandingkan masyarakat yang tinggal di desa, orang kota lebih mudah diserang hoaks karena mereka lebih akrab dengan penggunaan media sosial.
"Masyarakat yang berpendidikan lebih banyak terkena hoaks, begitu pula dengan masyarakat yang beragama fanatik," pungkas Henri.