Perusahaan penyedia solusi keamanan siber global Check Point Software Technologies mengungkapkan Indonesia adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tengara dengan pertumbuhan kelas menengah yang tumbuh pesat.
Sayangnya, Indonesia sangat rentan terhadap serangan malware, khususnya dengan pertumbuhan bisnis di berbagai sektor.
Malware diciptakan dengan berbagai intensi tetapi kebanyakan malware dibuat untuk tujuan kriminal, seperti menyerang institusi pemerintahan, perusahaan, dan bahkan individu.
Evan Dumas, Direktur Regional Asia Tenggara di Check Point Software Technologies mengatakan ekonomi malware berkembang begitu pesat seiring dengan bisnis malware yang semakin menguntungkan.
"Apapun yang Anda gunakan dapat menjadi sasaran mereka, baik saat melakukan perdagangan saham atau ketika memegang peranan penting dalam lembaga pemerintahan. Kita bicara soal data, khususnya data penting. Pengembang malware menjadi ancaman yang siap mencuri data Anda dan semua orang bisa menjadi targetnya,” ujar Dumas dalam siaran persnya.
Laporan teranyar dari Check Point berjudul “Cyber Attack Trends: 2019 Mid-Year Report” mengungkapkan bahwa, terdapat lima jenis malware yang berpotensi untuk berkembang di Indonesia: ransomware (11 persen), perbankan (30 persen), seluler (34 persen), cryptominers (48 persen) dan botnet (42 persen). Artikel tersebut juga mengungkapkan bahwa baik itu ponsel, media penyimpanan data atau on-premise, intinya, tidak ada yang kebal terhadap serangan malware.
“Di manapun ada penyebaran uang, pasti terdapat ancaman malware, termasuk platform e-commerce. Para sindikat penjahat siber malware akan berusaha mengakses data Anda,” lanjutnya.
Sebagai contoh, “Agent Smith”, jenis malware ponsel yang ditemukan oleh peneliti Check Point setidaknya telah menjangkiti lebih dari 570.000 perangkat di Indonesia, sementara para penggunanya masih belum menyadari.
Mirip dengan aplikasi Google, bagian inti dari malaware mengeksploitasi beberapa kelemahan sistem operasi Android dan secara otomatis mengganti aplikasi yang sudah terpasang pada gawai dengan versi berbahaya tanpa diketahui oleh penggunanya.
Sementara itu, “Agent Smith” digunakan untuk mendongrak keuntungan dengan penggunaan iklan berbahaya, hal tersebut sangat mungkin terjadi untuk tujuan yang mengganggu dan berbahaya seperti pencurian kredit bank dan penyadapan.
Pertumbuhan serangan malware yang meningkat harus diperhatikan, dan strategi keamanan siber dituntut untuk melawan ancaman tersebut. Institusi keuangan, seperti bank, menjadi sasaran terbesar serangan malware.
“Contohnya JP Morgan. JP Morgan dibobol beberapa tahun yang lalu oleh penjahat siber menggunakan malware sebagai “senjata”. Kasus tersebut menjadikan bank sebagai salah satu pengguna produk keamanan terbesar," ujarnya.
Di antara tren yang mendominasi pada 2019 adalah ancaman serangan ransomware. Kolaborasi antar pelaku ancaman malware menghasilkan serangan fatal yang melumpuhkan beberapa organisasi di seluruh dunia. Akhir dari serangan ransomware biasanya dimulai dengan serangkaian infeksi bot.
“Orang-orang yang mendapatkan penghasilan bersih menjadi sasaran serangan ransomware. Sekali Anda menjadi korban, mereka akan meminta Anda untuk membayar tebusan atas data yang mereka tahan. Semakin tinggi pendapatan Anda, semakin banyak pula uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kembali data Anda,” Dumas menjelaskan.
Antivirus tidak lagi cukup
Banyak orang merasa bahwa perangkat lunak antivirus sudah cukup untuk melindungi gawai mereka.
Anggapan ini tampaknya sudah tidak berlaku, mengingat malware sekarang disebarkan melalui banyak vektor, contohnya PC, jaringan dan umumnya perangkat seluler serta media penyimpanan data.
“Apa yang kita butuhkan saat ini adalah solusi tepat yang tidak hanya dapat menghapuskan virus biasa, namun juga ampuh mengatasi serangan malware paling canggih,” tutup Dumas.