Find Us On Social Media :

Perangi Kejahatan Keuangan dengan Big Data Analaytics dan Kolaborasi

By Liana Threestayanti, Senin, 28 Oktober 2019 | 16:00 WIB

Steven Totman, Managing Director, Financial Services, Cloudera dan Billie Setiawan, Senior Vice President, Enterprise Data Management, Data & Analytics, Bank Mandiri.

Kejahatan keuangan mendatangkan kerugian finansial maupun dampak sosial. Untuk menumpasnya dibutuhkan tidak hanya teknologi terkini tapi juga kolaborasi.

Pembicaraan tentang kejahatan keuangan seperti tak ada habisnya, sampai-sampai mungkin membosankan para pendengarnya. “Tapi menjadi menarik jika Anda tahu bagaimana kejahatan ini ternyata mengarah pada hal-hal, seperti terorisme, human trafficking, dan lain-lain,” tutur Steve Totman, Managing Director, Financial Services, Cloudera.

Bukan hal baru jika kejahatan keuangan telah menjadi isu global. Tiga kerugian diakibatkan oleh financial crime: biaya tinggi, kerugian besar finansial, dan dampak sosial. Steve Totman mengungkapkan bahwa dalam 12 bulan terakhir, lembaga keuangan di dunia telah menghabiskan US$1,28 triliun untuk memerangi tindak kriminal keuangan.

“Kejahatan ini juga telah mengakibatkan kerugian besar. Diperkirakan bahwa gabungan pendapatan yang hilang karena kejahatan keuangan adalah US$ 1,45 triliun selama 12 bulan terakhir,” jelas eksekutif berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang data ini.

Namun hanya sebagian kecil dari hasil kejahatan itu yang bisa disita pihak berwajib. Steve mencontohkan, pihak berwajib Uni Eropa hanya bisa menyita satu persen saja dari hasil kejahatan keuangan di Eropa meski regulasi sudah lebih ketat dan investasi teknologi lebih besar.

Yang paling mengerikan tentu dampak sosial dari kejahatan keuangan, antara lain dalam kasus-kasus perdagangan manusia/perbudakan modern di mana 40,3 juta orang telah menjadi orbannya, menurut data terbaru  Global Estimates of Modern Slavery (ILO and Walk Free Foundation).

Kelemahan Lembaga Keuangan

Tak mau kalah dari lembaga-lembaga keuangan, para kriminal keuangan ini juga memanfaatkan teknologi dan taktik yang kian canggih. Bank Sentral Amerika baru-baru ini mengeluarkan whitepaper yang salah satu bagiannya membahas jenis kejahatan keuangan Synthetic Identity Fraud yang memanfaatkan data social security number anak-anak berusia di bawah 18 tahun.

“Para pelaku kejahatan ini menciptakan identitas yang riil, dari social security number asli, tapi kemudian membaurkannya dengan data lahir palsu, akun bank palsu dan sebagainya. Kejahatan ini baru akan terungkap ketika si anak berusia 18 tahun dan akan membuka rekening bank,” tuturnya.

Para penjahat keuangan juga memelihara ribuan rekening palsu yang sudah mereka buka selama bertahun-tahun. “Mereka membuatnya seperti asli, mereka menaruh uang di rekening itu, bahkan meminjam uang dan membayar pinjamannya. Sampai suatu saat mereka sampai pada satu titik di mana akun-akun itu digunakan untuk membobol banyak bank di berbagai tempat di dunia,” cerita Steve Totman.

Bank, menurut Steve, sebagai salah satu lembaga keuangan yang kerap dimanfaatkan oleh para penjahat ini juga memiliki kelemahan. Misalnya, organisasi dalam bank itu sendiri masih bersifat silo. “Bank juga tidak menangani data secara real time, dan belum menggunakan teknik yang cukup canggih untuk mengenali para kriminal ini,” imbuh Steve. Dan yang lebih parah, gerak-gerik bank terbatas oleh batas-batas negara. Sementara para penjahat keuangan dapat melancarkan aksinya di mana saja di berbagai negara di dunia.

Padukan Tiga Teknologi dan Kolaborasi