Selama ini, khalayak mengira bahwa satu-satunya platform teknologi yang membiarkan politisi menjalankan propaganda berita bohong hanya Facebook.
Perusahaan telah menghadapi gempuran kritik dari Kongres, kandidat presiden dari Partai Demokrat, media, bahkan karyawannya sendiri.
Awal pekan lalu, CEO Twitter Jack Dorsey mengumumkan perusahaannya akan berhenti menjalankan bisnis iklan politik sepenuhnya.
Pernyataan itu dianggap semakin menyudutkan Facebook, sampai akhirnya disadari bahwa penghentian iklan politik juga berarti menghambat kelompok advokasi dan aktivis bernada sosial untuk beriklan di platform tersebut.
Terlepas dari kontroversi yang ada, baik Facebook maupun Twitter telah mengambil sikap dan mengumumkannya secara terbuka alasan dari kebijakan yang mereka ambil.
Di sisi lain, Google justru bersikap diam dan berupaya menghindari sorotan, bahkan ketika Google membiarkan politikus memasang iklan yang mengandung berita palsu.
Kontroversi iklan politik di sejumlah platform digital bermula ketika Donald Trump menciptakan iklan berita bohong saat kampanye pemilihan kembali Presiden Amerika Serikat (AS).
Berita palsu yang dimunculkan saat itu ialah menuduh mantan Wakil Presiden AS Joe Biden korupsi dalam kebijakan Ukraina selama pemerintahan Barack Obama.
Kala itu, iklan digital tersebar hampir di seluruh saluran media sosial, termasuk Facebook, Twitter, dan YouTube.
Berdasarkan basis data iklan politik Google, kampanye Trump menghabiskan dana sekitar US$100 ribu hingga US$ 200 ribu hanya untuk promosi video YouTube. Iklan itu terlihat antara 10 dan 30 juta kali.
Menanggapi hal itu, juru bicara YouTube mengatakan kepada CNN bahwa iklan tidak melanggar aturan.
"Kami tidak memiliki pengecualian khusus untuk iklan politik, semua iklan yang berjalan di platform kami harus mematuhi kebijakan iklan kami, dan semua iklan politik termasuk dalam Laporan Transparansi dan Perpustakaan Iklan kami," kata juru bicara YouTube seperti dikutip CNN.