Facebook tengah menghadapi permasalahan serius mengenai iklan politik dalam platform miliknya.
Berangkat dari hal tersebut, perusahaan teknologi ini akhirnya mengambil sikap untuk membatasi iklan politik yang masuk.
Padahal, dalam pernyataan sebelumnya, CEO Facebook, Mark Zuckerberg, mengatakan, Facebook menjunjung kebebasan berpendapat.
Dia menegaskan, bukan kewenangan perusahaan untuk menentukan iklan mana yang boleh tayang dan tidak dalam sosial media miliknya.
Sosial media lain seperti Snapchat sudah memutuskan untuk memverifikasi iklan dan memeriksa fakta iklan yang masuk.
Google juga memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap iklannya.
Sementara Twitter benar-benar melarang masuknya iklan politik. Dalam laporan Wall Street Journal, yang dikutip dari The Next Web, sumber dari Facebook mengatakan bahwa perusahaan sedang mempertimbangkan untuk mengubah target ukuran iklan minimum, dari 100 orang menjadi beberapa 1.000 orang.
Dengan kebijakan ini, Facebook mencoba mencari respons dari pemberi utama iklan yakni Partai Republik dan Partai Demokrat.
Selain itu, perusahaan juga mencoba mencari masukan mengenai aturan lain yang bisa diterapkan.
Sementara itu, juru bicara Facebook menegaskan, mereka memang sedang mencari cara lain terhadap iklan politik yang masuk.
“Kami sedang mencari cara yang lain untuk memperbaiki kebijakan politik kami,” jelasnya.
Twitter Inc memutuskan melarang iklan politik di platform mikroblog tersebut mulai November dan berlaku secara global.
"Kami memutuskan untuk menghentikan semua iklan politik di Twitter secara global," kata CEO Twitter Jack Dorsey dalam sebuah cuitan, yang kini sudah dihapus, dikutip dari Reuters, Jumat.
Dorsey beralasan pesan politik sewajarnya diperoleh, bukan dibeli. Twitter belum berkomentar mengenai kabar iklan politik ini.
Dorsey menilai iklan berbayar terkesan memaksakan "pesan politik ke orang-orang" yang dapat berakibat pada "risiko penting terhadap politik, yaitu dapat digunakan untuk mempengaruhi pemungutan suara dan akan berakibat pada kehidupan jutaan orang".
Twitter menilai iklan politik akan berseberangan dengan usaha mereka untuk memerangi informasi yang menyesatkan.
"Jika seseorang membayar kami untuk menargetkan dan memaksa orang untuk melihat iklan politik mereka, artinya, mereka bisa mengatakan apa pun yang mereka mau".