Xiaomi Corp menyiapkan rencana besar dalam bidang teknologi. Vendor smartphone asal China ini siapkan investasi sebesar US$7,18 miliar atau setara Rp 100,58 triliun dalam lima tahun ke depan.
Investasi ini akan dibenamkan dalam pengembangan teknologi internet 5G, artificial intelligence atau kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things.
Investasi ini diumumkan langsung Bos Xiaomi Lei Jun dalam media sosial perusahaan tanpa menyebutkan detil investasi tersebut.
"Kami perlu mengubah keunggulan yang kami miliki selama ini ke dalam AIoT dan kecerdasan hidup untuk menjadikannya kemenangan multlak dan memperkuat status kami sebagai raja di era smart," ujar Lei Jun, seperti dikutip dari Reuters.
IoT merupakan akronim dari artificial intelligence of things yang merujuk kepada kombinasi antara kecerdasan buata dan teknologi internet. Nilai investasi ini lebih tinggi dari yang dijanjikan oleh Lei Jun tahun lalu sebesar 10 miliar yuan dalam lima tahun ke dalam strategi 'All in AIoT'.
Xiaomi awalnya merupakan vendor smartphone dengan harga terjangkau, namun kini produknya sudah berkembang ke arah yang mendukung internet seperti smart TV dan penanak nasi.
Namun Xiaomi menghadapi tantangan besar menaklukkan China karena karena Huawei begitu perkasa dan menguasai pasar smartphone hingga 42%. Posisi di pasar kini sedang diincar Vivo dan Oppo, brand ponsel milik BBK Electronics.
Pada pengumuman Oktober 2019, Lei Jun mengatakan tahun ini Xiaomi akan meluncurkan 10 model ponsel 5G dengan harga yang terjangkau.
Keuntungan AI
Saat ini kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sedang menjadi tren di banyak sektor karena AI mampu mengubah masa depan manusia dan meningkatkan keuntungan perusahaan.
Presiden Direktur Microsoft Indonesia Haris Izmee mengatakan penggunaan teknologi kecerdasan buatan bisa membantu meningkatkan produktivitas dalam organisasi.
"Microsoft selama beberapa tahun ini membangun dan mengembangkan AI karena AI adalah game changer," kata Haris.
Haris mengatakan saat ini teknologi AI di organisasi atau perusahaan digunakan untuk menyelesaikan kurangnya kepemimpinan (46 persen), kurangnya keahlian (23 persen), hingga menyelesaikan masalah budaya organisasi yang resisten (13 persen).
"Dengan teknologi AI, organisasi atau perusahaan bisa melakukan hal lebih baik selama tiga tahun belakangan ini," ucapnya.
"Penggunaan AI diperkirakan bisa meningkatkan produktivitas dan kinerja karyawan hingga hampir dua kali lipat di kawasan Asia Pasifik, bahkan di Indonesia produktivitas bisa meningkat hingga 1,9 kali lipat," kata dia, mengutip laporan perusahaan riset pasar IDC.
Lebih lanjut, kata Haris, laporan IDC juga menyebutkan, lebih dari separuh perusahaan di Indonesia yang disurvei sudah mulai mempertimbangkan penerapan teknologi kecerdasan buatan untuk membantu bisnisnya.
Dia memaparkan, 14 persen dari pelaku usaha yang disurvei belum mulai mempertimbangkan penggunaan AI, sementara 30 persen mengaku ingin melihat teknologi AI lebih mature sebelum mengimplementasikannya.
Kemudian, 42 persen pelaku usaha memilih untuk menerapkan AI sebagai bagian dari strategi bisnisnya dan 14 persen lainnya mulai mengadopsi AI sebagai bagian inti dari strategi bisnisnya.
Haris juga mengungkap, AI banyak dipakai di perusahaan untuk tujuan-tujuan berikut ini. Misalnya, untuk meningkatkan kepuasan pelanggan (40 persen), tingkat kompetisi lebih baik dengan pesaing (17 persen), margin lebih tinggi (14 persen), inovasi (11 persen), serta untuk membuat karyawan lebih produktif (6 persen).
Di Indonesia, kata Haris, ditemukan beberapa hal yang perlu ditingkatkan misalnya kultur atau budaya organisasi, infrastruktur, hingga ke teknologi yang tepat.
Namun, dia berkata, saat inilah saatnya untuk mulai memakai teknologi AI terutama untuk mengolah berbagai data, demi mengambil keputusan bisnis yang tepat.
"Di Microsoft, kami berupaya untuk memberdayakan semua orang dan organisasi untuk mendapatkan pencapaian lebih," ujar dia.