Di tengah kecenderungan melambatnya kredit perbankan, minat masyarakat untuk mengajukan pinjaman di financial technology (fintech) atau teknologi finansial terus mengalami pertumbuhan signifikan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, sepanjang 2019, kredit perbankan tumbuh 6,08%. Namun pada periode yang sama sumber pembiayaan dari perusahaan teknologi finansial (tekfin) mampu tumbuh sebesar 141,5%.
Di samping itu, sumber pembiayaan lainnya seperti penerbitan baru obligasi korporasi juga mampu tumbuh lebih tinggi dari kredit perbankan, yakni sebesar 7,6% secara tahunan.
"Di tengah pertumbuhan kredit yang belum kuat, sumber pembiayaan ekonomi lain seperti penerbitan baru obligasi korporasi dan Fintech tumbuh tinggi masing-masing sebesar 7,6% dan 141,5%," kata Perry usai Rapat Dewan Gubernur.
Perry mengatakan meski fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian, stabilitas sistem keuangan sepanjang 2019 tetap terjaga. Pada tahun 2020, Perry memproyeksikan berbagai sumber pembiayaan akan membaik sejalan prospek peningkatan pertumbuhan ekonomi, termasuk pertumbuhan kredit perbankan yang diperkirakan tumbuh di kisaran 10% - 12%.
"Ke depan, Bank Indonesia tetap menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan memperkuat koordinasi dengan otoritas terkait sehingga dapat tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan," tuturnya.
Gerus Duit Bank
Industri perbankan global diprediksi kehilangan pendapatan USD280 miliar atau setara Rp 3.920 triliun pada 2025 karena kehadiran startup pembayaran yang menggarap bisnis remitansi dengan mengandalkan kecepatan dan tanpa biaya.
Menurut riset terbaru Accenture, bisnis pembayaran global tahun ini akan bernilai USD1,5 triliun dan menjadi USD 2 triliun pada 2025, tetapi sebesar USD280 miliar akan diambil oleh fintech pembayaran pada 2025.
Bank sedang hadapi peningkatan persaingan dengan fintech seperti fintech asal Sillicon Valley Stripe dan Square serta platform teknologi PayPal dan perusahaan sejenis layaknya TransferWise yang berbasis di London.
Perusahaan ini menawarkan jasa pembayaran valuta asing kepada pelanggan ritel dan UKM dengan biaya lebih rendah seperti dikutip Reuters.
"Munculnya pembayaran instan akan mengurangi kebutuhan akan kartu kredit yang menjadi sumber penghasilan bank dan pengguna akan bisa bertransaksi secara langsung dengan partner bisnis dengan menggunakan teknologi," tulis Accenture.
Kompetisi yang meningkat dengan penawaran tanpa biaya transfer (gratis) akan menekan margin bank.
"Bank merasakan panasnya persaingan dengan fintech yang menawarkan kecepatan, tak terlihat dan layanan gratis. Bank merasakan kesulitan untuk hadapi gempuran fintech karena sektor ini belum diregulasi dengan ketat seperti bank," ujar Gareth Wilson, head global payment of Accenture.
Accenture mengatakan telah meneliti tren dalam bagaimana konsumen berubah dalam melakukan pembayaran karena adanya teknologi dan pontensi kehilangan pendapatan bank.
Diprediksi 8% pendapatan bank dari pembayaran terancam karena adanya layanan tak berbayar.
Lebih dari dua pertiga eksekutif perbankan yang disurvei oleh Accenture setuju bahwa pembayaran menjadi gratis.
"Booming digital berarti bank harus mengubah cara mereka berpikir secara mendasar tentang komposisi mendapatkan pendapatan," kata Alan McIntyre dari Accenture.
"Channel yang pernah memberikan bank miliaran dolar buat bank akan hilang," kata Alan McIntyre serta menambahkan bahwa pemberi pinjaman perlu membangun model bisnis digital baru.