Khusus untuk korporasi, pidana yang dijatuhkan hanyalah pidana denda paling banyak tiga kali lipat dari maksimal pidana denda yang diancamkan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 66.
Namun, mereka bisa saja dikenakan pidana tambahan, seperti perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana, pembekuan seluruh atau sebagian usaha korporasi, pembayaran ganti rugi, hingga penutupan sebagian atau keseluruhan korporasi.
Secara total, RUU PDP ini mencakup 15 bab dan 72 pasal. Meskipun telah sampai di tangan DPR, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), belum bisa memastikan kapan RUU PDP bisa disahkan oleh DPR.
Menteri Kominfo, Johnny Plate mengatakan, mekanisme pembahasan RUU PDP sepenuhnya menjadi kewenangan DPR RI. Johnny juga mengatakan ada sejumlah regulasi lain yang lebih diprioritaskan ketimbang RUU PDP.
"Selain RUU PDP ada beberapa RUU penting lain yang disiapkan pemerintah. Ada juga Omnibuslaw Cipta Lapangan Kerja dan Omnibuslaw Perpajakan," kata Johnny, dalam konferensi pers perkembangan RUU PDP.
Menurut Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, DPR harus bergerak cepat untuk segera mengesahkan RUU PDP menjadi undang-undang.
Sebab, menurutnya, undang-undang perlindungan data pribadi saat ini sangat penting. Ia mengusulkan agar Komisi I membentuk panitia kerja (panja) untuk mengakselerasi RUU PDP.
"Menurut saya komisi I perlu fokus untuk memprioritaskan, membahas RUU ini secara seksama," katanya.
Ia juga mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang akhirnya mengeluarkan Surat Presiden untuk RUU PDP. Kendati sempat molor, menurut Wahyudi, hal itu merupakan satu capaian penting dalam kemajuan RUU PDP.