Indonesia bersiap memasuki era revolusi industri 4.0 yang melibatkan internet dan perangkat teknologi.
Saat ini Indonesia sudah menjadi tempat kelahiran perusahaan rintisan berbasis teknologi dan membuka peluang besar pada pekerja TI (teknologi informasi).
Bahkan, Indonesia sudah memiliki 6 startup unicorn yang membuktikan kehebatan dunia startup di Indonesia.
Sisi negatifnya, fenomena itu memunculkan kesenjangan antara permintaan perusahaan dengan jumlah sumber daya manusia TI yang berkualitas. Hal itu membuat perusahaan harus saling berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan ahli TI terbaik.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignasius Untung mengatakan saat ini sudah menjadi hal biasa adanya rebutan merekrut pekerja TI terbaik.
“Sebenarnya kalau untuk IT yang general, susah-susah sekali enggak. Tapi kalau cari yang bagus, susah karena ya rebutan lah,” ujar Untung.
Untung mengatakan pekerja yang paling susah dicari itu adalah mereka dengan keahlian yang lebih spesifik. Ia memberi contoh Artificial Intelligence dan Product Manager sebagai dua profesi yang sangat minim.
“Yang susah itu yang spesifik, misalnya ngomongin soal AI, Artificial Intelligence, susah itu, supply-nya memang sedikit. Terus Product Manager itu juga susah,” tuturnya.
Dalam kesempatan lain, Untung juga mengatakan pekerja lainnya yang terbilang sulit yakni Software Engineer. Di sebuah startup besar, ia mencatat, dibutuhkan sekitar 1.000 Software Engineer.
Analisis Data juga masuk dalam kriteria tersebut. Alasannya karena tidak ada sekolah khusus untuk keahlian yang satu ini. Yang ada hanya jurusan umum seperti Statistik.
Adanya kompetisi itu, kata Untung, membuat perusahaan berani jor-joran untuk memberikan penawaran gaji yang sangat tinggi. Nominalnya bahkan bisa berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah.
“Anggap saja yang rata rata, ya starting dari Rp 5 juta, Rp 5 juta masih adalah dan yang fresh graduate banget. Sampai kalau sudah sampai level ahli bisa Rp 100 juta lebih,” ujar Untung. Apalagi jika sang karyawan yang diperebutkan itu tergolong ahli di bidang tertentu. Untuk yang satu ini, adalah hal yang biasa bajak membajak karyawan antarkantor dengan iming-iming kenaikan gaji sampai 100 persen lebih.
“Ada yang berani ngasih kenaikan 100 persen lebih, jadi biasanya kan gini, kalau orang pindah itu kan naik itu 20 sampai 30 persen. Nah itu bisa ada yang berani kasih ‘ya udah pindah ke sini saya kasih 100 persen kenaikannya’, atau bahkan lebih dari 100 persen ada juga,” jelasnya.
Pada 2019, Pendiri Bhinneka.com. Hendrik Tio, mengakui bahwa gaji pekerja startup di bidang teknologi begitu tinggi. Bahkan untuk merekrut lulusan luar negeri, gaji yang diminta mencapai Rp 80-90 juta.
"Misal ada talent yang bagus dari luar negeri, mereka minta salary Rp 80-90 juta. Kita dengar saja sudah bengong, itu yang terjadi," papar Hendrik.
Pun dikarenakan jumlah SDM yang terbatas, kini startup besar berani membajak pekerja teknologi di startup lain dengan gaji yang sudah besar. Maka dari itu, gaji yang tinggi menjadi cara startup untuk mengikat pekerjanya.
Kesulitan mencari ahli di bidang teknologi informasi juga diakui Bukalapak. Chief of Talent Bukalapak, Bagus Harimawan, mengatakan talenta di bidang Artificial Intelligence di Indonesia memang masih terbatas.
Untuk menjadi praktisi AI, dibutuhkan tiga keahlian, yakni mengolah data dan mengembangkan model AI, mengimplementasikan perangkat lunak berbasis AI untuk skala besar, dan memahami kapabilitas AI secara mendalam agar dapat mengambil keputusan yang tepat sehingga penggunaan AI bisa tepat sasaran sesuai kebutuhan.
“Inilah yang menyebabkan terjadinya talent war, yaitu di mana supply talent jauh lebih sedikit dibandingkan demand,” katanya.
Untuk mengembangkan potensi para ahli teknologi, Bukalapak juga melakukan berbagai workshop ke universitas-universitas di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan perusahaan dalam jangka panjang.
"Sementara dalam jangka pendek, Bukalapak memiliki program #BukaJalanPulang untuk mengajak kembali diaspora Indonesia yang berada diluar negeri," katanya.
Gojek juga mengakui adanya kesenjangan antara tingginya kebutuhan SDM teknologi dengan ketersediaan sumber daya di Indonesia. VP of Data Science Gojek, Syafri Bahar, mengatakan perlu dilakukan berbagai langkah untuk mengatasi kesenjangan itu.
"Dibutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah, swasta, dan semua pihak yang terlibat untuk mengatasi kesenjangan tersebut," katanya.
Syafri mengatakan, Gojek terus berfokus meningkatkan kapabilitas talenta-talenta di bidang teknologi melalui berbagai macam inisiatif dan pelatihan, baik yang dijalankan secara independen dan dalam kerja sama dengan berbagai pihak lainnya.
"Berbagai macam program pengembangan sumber daya yang dijalankan tidak saja menargetkan karyawan internal, tetapi juga untuk pihak eksternal," ujarnya.
Universitas-universitas di Indonesia sendiri sebenarnya sudah mampu melahirkan ahli-ahli TI yang andal, tak kalah dari lulusan TI universitas luar negeri.
Tak hanya piawai dalam mengotak-atik rumus-rumus teknologi informasi, tapi juga banyak yang piawai dalam bidang manajemen hingga melahirkan perusahaan startup.
Tak sedikit juga lulusan TI universitas di Indonesia yang menjadi bos startup. Di antaranya ada pendiri Tokopedia William Tanujaya hingga pendiri Bukalapak Achmad Zaky.