Selain sumber daya komputasi, Andrew Pangestu dan timnya tentunya juga harus memastikan ketersediaan konektivitas jaringan. “Sinema kan umumnya ada di area mal, padahal secara jaringan, mal tidak dirancang untuk memberikan reliability setinggi (reliabilitas jaringan di) gedung-gedung perkantoran,” jelas pria yang sebelumnya berkecimpung di bidang teknologi informasi untuk perbankan ini.
Menyiasati kondisi ini, Cinema XXI menerapkan model hybrid di mana sistem bisa bekerja secara tersentralisasi dan desentralisasi. Tiap bioskop juga dilengkapi dengan server cadangan.
Saat ada masalah sehingga jaringan putus, sistem tiket online dihentikan untuk menghindari double ticket. “Jangan sampai seat yang sama dibeli oleh orang yang berbeda, jangan sampai pelanggan mau senang-senang malah jadi berantem,” jelas Andrew. Ketika terhubung kembali ke jaringan, sistem lokal segera melakukan sinkronisasi ke sistem di pusat.
Kecepatan memenuhi kebutuhan bisnis pun menjadi jalan bagi Divisi Teknologi untuk menyajikan pengalaman berkesan bagi pelanggan. Hal itu ditempuh Cinema XXI dengan mengadopsi pendekatan Devops dan Agile.
“Sebagai IT, saya harus make sure bahwa apapun yang direncanakan tim Business Development dan Operations harus kami support,” tegas Andrew.
Di luar TI, tentunya ada teknologi-teknologi lain untuk mewujudkan pengalaman menonton bioskop paripurna, di antaranya teknologi IMAX with Laser dengan proyektor laser 4K dan pembaruan instalasi suara (IMAX’s 12 channel sound).
Membidik Kolaborasi
Baru tiga tahun lalu bergabung di Cinema XXI, Andrew Pangestu mengaku ini sebuah perubahan besar dalam perjalanan kariernya. Ia sebut perubahan besar karena Andrew memilih beralih ke bisnis sinema setelah hampir dua dekade berkecimpung di bidang teknologi informasi perbankan.
Dengan masuk ke industri sinema, Andrew berharap dapat ikut ambil bagian dalam upaya menghibur dan menyenangkan orang. “Salah satu harapan saya adalah masuk ke satu industri yang bisa memberikan satu value added ke masyarakat dalam bentuk hiburan, sesuatu yang positiflah buat masyarakat,” Andrew mengungkapkan alasannya.
Alasan lain, dari perspektif digitalisasi, ia melihat industri sinema bak sebuah kertas kosong. “Ibaratnya di industri lain sudah banyak pagar-pagarnya, tapi di sini saya bisa benar-benar mendefinisikan digital di industri sinema seperti apa,” ujar pehobi olah raga basket itu. Potensi perkembangan dan peluang digitalisasinya, menurut Andrew, akan besar sekali.
Peluang monetisasinya pun masih terbuka lebar, terutama melalui kolaborasi dengan para mitra bisnis Cinema XXI. Salah satu “kendaraan” kolaborasi yang berpotensi, menurut Andrew, adalah aplikasi mobile ticketing M-Tix. Fitur e-voucher M-Tix yang baru diluncurkan dapat menjadi sebuah konten menarik bagi mitra bisnis Cinema XXI, misalnya sebagai reward untuk para klien mitra bisnis tersebut.
Dan untuk menunjang kolaborasi di masa depan, Andrew Pangestu dan timnya sudah membidik target selanjutnya, yaitu implementasi API management.
“Kami fokus dulu untuk memperkuat infrastrukur dan aplikasi, ini sudah tahun kedua. Di tahun ketiga kami berharap sudah masuk tahap finalisasi untuk infrastruktur. Setelah itu, kami akan lari lebih kencang lagi,” pungkasnya.
(Liana Threestayanti)