Penulis: Meisia Chandra, Founder DigiHR (@mei168)
Belum lama ini Anne Nancy Toar, selaku Engineer Manager Bukalapak mem-posting sesuatu yang menarik di jejaring sosial LinkedIn. Sepuluh engineer wanita di perusahaan situs jual beli online tersebut berbagi pengalaman mereka tentang suka-duka menjadi seorang pekerja teknologi wanita. Sesuatu yang amat menarik perhatian saya, karena pada saat yang sama saya sering membaca tentang kurangnya keterwakilan wanita sebagai pekerja teknologi.
Beberapa waktu yang lalu Duolingo, perusahaan aplikasi belajar bahasa juga “memamerkan” di LinkedIn bagaimana mereka berhasil mencapai komposisi 50-50 untuk pria dan wanita di posisi software engineer. Mereka mengatakan bahwa hal ini bukanlah hal yang mudah atau terjadi secara kebetulan, tetapi dicapai melalui sebuah strategi dalam rekrutmen.
Lever, perusahaan software rekrutmen yang berbasis di Amerika, juga melakukan hal yang sama. Perusahaan dengan 155 karyawan itu pada tahun ini bahkan mencantumkan di situs web perusahaan tentang rasio karyawan pria dan wanita yang mencapai 50-50. Mengapa hal ini adalah sesuatu yang penting dan patut dibanggakan oleh para perusahaan teknologi ini?
Ternyata sudah sejak lama industri teknologi “menderita” kekurangan wanita. Berita yang sering terdengar di Silicon Valley adalah tentang kurangnya pekerja wanita di teknologi, ketidakterwakilan dari wanita yang menyebabkan ketidakberagaman gender (karena keberagaman gender berarti 50-50 antara pria dan wanita), dan lebih menyedihkan lagi, terdengar juga berita-berita tentang pelecehan seksual.
Salah satu konferensi teknologi terbesar di Asia, RISE di Hong Kong pertengahan tahun lalu bahkan menggelar debat tentang apakah sudah diperlukan kuota gender di Silicon Valley, untuk meningkatkan keterwakilan dari wanita.
Raksasa Teknologi dan Keterwakilan Gender
Kalau begitu mari kita intip bagaimana komposisi karyawan pria dan wanita di beberapa raksasa teknologi dunia.
Google sejak tahun 2014 secara rutin mempublikasikan data demografi karyawannya setiap tahun, untuk menunjukkan keseriusan mereka untuk menciptakan budaya yang lebih inklusif. Suatu gerakan yang oleh karyawan Google sendiri disebut sebagai gerakan yang nyata walaupun bergerak lambat.
Pada tahun 2017, 31% dari total karyawan Google adalah wanita. Sementara dari bagian teknologi saja hanya 20% saja pekerja wanitanya. Di sini terjadi sedikit peningkatan dibanding tahun lalu yang hanya 17& pekerja wanita di bidang teknologi. Dari sisi leader, satu dari empat leader di Google adalah wanita, alias 25%.
Raksasa teknologi dan teman kita sehari-hari yang lain, Facebook, hampir sama. Dari total karyawan di seluruh dunia, hanya 35% wanita pada tahun 2017. Hal ini sedikit meningkat dari tahun 2016 (33%). Di ranah teknologi, terjadi sedikit kenaikan juga, dari 17% menjadi 19%. Tidak jauh berbeda dengan angka yang ditunjukkan Google di atas.
Data dari perusahaan lain yang saya dapatkan adalah data dari tahun 2016 dan merupakan komposisi total karyawan, bukan dari bidang teknologi saja. Misalnya, Linkedin 42% wanita, Amazon 39%, Apple 32%, Microsoft 26%, Salesforce 30%, dan Uber 36%.
Keberagaman Gender dan Kinerja Perusahaan
Data-data di atas menunjukkan bahwa keberagaman gender bukanlah sesuatu yang mudah direalisasikan di perusahaan teknologi. Walaupun begitu, bukan berarti mereka mengganggap remeh isu ini. Sebaliknya, mereka terus berusaha untuk meningkatkan keberagaman. Mengapa hal ini demikian penting? Bukan hanya soal keadilan saja, tetapi riset menunjukkan bahwa keberagaman juga mempunyai dampak ekonomi.
Hasil penelitian Morgan Stanley yang dipublikasikan pertengahan tahun lalu menunjukkan, perusahaan teknologi yang memiliki tim yang beragam secara gender akan menunjukkan performa bisnis yang lebih baik.
Dalam laporan riset tersebut disebutkan, teknologi adalah sektor yang paling rendah dalam hal keberagaman gender. Padahal, perusahaan teknologi yang serius mengusahakan keberagaman gender terbukti menghasilkan hasil bisnis yang lebih baik. Selama lima tahun terakhir, perusahaan yang lebih beragam gender menghasilkan hasil bisnis 5,4% lebih tinggi daripada perusahaan yang kurang beragam dari sisi gender.
Setelah menganalisis 1.600 korporasi dari berbagai sektor, Morgan Stanley menemukan bahwa perusahaan dengan keberagaman gender cenderung memiliki fundamental yang lebih kuat, dan kinerja dan penyesuaian risiko yang lebih baik. Terutama di bidang teknologi, korelasi antara keberagaman gender dan kinerja lebih tajam. Alasan yang disebutkan adalah keberagaman gender berkorelasi dengan meningkatnya produktivitas, inovasi, retensi karyawan, dan manajemen risiko yang lebih baik. Semua itu adalah faktor-faktor yang penting dalam mendukung kinerja perusahaan.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian McKinsey tentang keberagaman dan kinerja finansial. Riset yang dimulai sejak 2015 dan di-update pada awal tahun 2018 ini menganalisis lebih dari 1.000 perusahaan di dua belas negara. McKinsey menemukan bahwa perusahaan yang lebih beragam gender, khususnya di level eksekutif, menghasilkan profitabilitas 21% lebih tinggi dibanding perusahaan lain.
Nah, Anda sebagai pemimpin di bidang teknologi, perlu lebih memperhatikan hal ini. Untuk mencapai keberagaman memang diperlukan usaha, dimulai dari proses perekrutan. Sejak awal dapat disusun kriteria perekrutan tim dengan membuka kesempatan yang sama kepada kedua gender. Pada kasus Duolingo, bahkan mereka sengaja mencari di kampus yang memiliki lebih banyak lulusan wanita di jurusan Computer Science. Lever mencanangkan keberagaman sebagai salah satu goal (tujuan) yang harus dicapai perusahaan.
Selain rekrutmen, usaha pengembangan dan retensi karyawan juga harus memperhatikan kesempatan yang sama untuk kedua gender. Di beberapa perusahaan bahkan ada pelatihan keberagaman (diversity training) yang salah satu tujuannya adalah melatih para manajer untuk menghindari bias dalam penilaian. Jadi, bagaimana dengan perusahaan Anda?