Penulis: Leon O'Reilly*
Efek riak (ripple effect) dari pandemi ini, dengan berbagai cara, telah memengaruhi semua industri dan mendorong bisnis untuk mengakselerasi transformasi digital. Tak terprediksi sebelumnya, norma-norma baru telah menjadi katalisator perubahan, dengan lensa bisnis kini terfokus ulang pada operasi dan peningkatan pengalaman pelanggan.
Secara regional, Singapura berada di baris terdepan dalam adopsi digital dibandingkan rekan-rekan globalnya. Namun telah terjadi berbagai hal di dunia bisnis dengan datangnya berbagai tantangan baru. Misalnya, para manajer HR saat ini menghadapi tantangan pengelolaan karyawan yang kian berat. Bagaimana budaya perusahaan bisa beresonansi dengan karyawan baru yang menjalani orientasi dari jarak jauh?
Ditambah lagi, saat ekonomi membaik, bagaimana bisnis dapat menarik perhatian dan mempertahankan karyawan yang bertalenta, dan apakah setiap orang akan bekerja dengan cara baru? Dalam konteks COVID-19, bagaimana bisnis dapat mempertahankan basis pelanggan ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa semua bisnis berlomba menajamkan proses dan meningkatkan pengalaman pelanggan?
Selain itu, makin banyak karyawan yang bekerja dari jarak jauh, bahkan seringkali melintasi batas-batas kota/negara. Jajaran manajemen dan HR harus memahami dan mempromosikan ide bahwa lokasi staf bisa tersebar secara geografis tanpa harus terfragmentasi produktivitas dan team ethic-nya.
COVID-19 mendorong bisnis untuk lebih jauh mendefinisikan kembali bagaimana norma-norma dan proses didefinisikan, dan memperburuk digitalisasi interaksi di tempat kerja. Oleh karena itu kepemimpinan akan lebih jauh mengubah model bisnis, sistem, dan proses saat kita beradaptasi dengan norma-norma baru.
Menatap Masa Depan
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, keberadaan karyawan yang bekerja di mana saja dan bekerja dari jarak jauh akan menjadi hal yang mendasar.
Menurut sebuah laporan dari Buffer, 99% karyawan setuju untuk bekerja jarak jauh pada waktu tertentu, sepanjang karier mereka. Perusahaan, seperti Twitter, sudah mengambil langkah tersebut. Jadi agaknya gaya bekerja fleksibel akan menjadi tren ke depannya.
Dan ketika bersandar pada cara kerja digital dan kerja jarak jauh, automasi akan lebih banyak dicari dari sebelumnya karena perusahaan membutuhkan solusi yang dapat menjaga efisiensi, produktivitas, dan validitas dengan kinerja yang terjaga dengan optimal. Untuk mendorong hal ini, perusahaan perlu melakukan introspeksi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Bagaimana saya mendorong kolaborasi yang lebih lancar dan memperlihatkan nilai ke pasar melalui digital?
- Sebagai satu tim, apakah kita memiliki semua kemampuan digital yang dibutuhkan untuk sukses dan apakah hal ini berubah ketika kita bekerja secara remote?
- How do I protect the versatile requirements of my currently remote teams?
Seringkali, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dapat kita temui dalam digitalisasi dan layanan terotomatisasi yang membantu menyederhanakan proses yang sudah ada.
Menurut survei McKinsey tentang pentingnya digitalisasi, bisnis harus bersandar pada workplace automation karena automasi ini membukakan peluang yang signifikan untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi. Menguatkan hal ini, ¾ dari responden mengatakan bahwa perusahaan mereka sudah mulai mengotomatisasi atau merencanakan dalam waktu dekat.
Pendorong yang sebenarnya adalah menumbuhkan pengalaman positif di sisi pelanggan. Bisnis harus memahami bahwa kecepatan adalah salah satu keunggulan kompetitif yang terbaik bagi konsumen. Walhasil, perusahaan harus memanfaatkan teknologi baru dan peluang-peluang untuk menutup gap, dengan layanan yang benar-benar bermanfaat untuk proses-proses yang sudah disederhanakan.