Find Us On Social Media :

Contoh Penerapan Artificial Intelligence untuk Kurangi Emisi Karbon

By Liana Threestayanti, Senin, 27 September 2021 | 16:00 WIB

Ilustrasi penerapan AI untuk kurangi emisi karbon.

Para ilmuwan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk memandu proses mendesain material baru berbahan dasar limbah biomassa untuk menangkap gas karbon dioksida.

Perubahan Iklim menjadi salah satu isu penting di dunia saat ini karena dampaknya yang mengerikan di masa depan. Bank Dunia melaporkan, akibat perubahan iklim, lebih dari 200 juta warga dunia terpaksa harus menjadi migran iklim. Dalam tiga dekade mendatang, mereka harus meninggalkan rumahnya karena kelangkaan air, kelaparan, atau naiknya permukaan air laut. 

Perubahan iklim, menurut definisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  adalah perubahan signifikan kepada iklim, suhu udara dan curah hujan mulai dari dasawarsa sampai jutaan tahun. Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut, disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia seperti emisi bahan bakar fosil, perubahan fungsi lahan, limbah dan kegiatan-kegiatan industri.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi menekan jumlah emisi gas karbon dioksida atau CO2. Salah satunya adalah carbon dioxide sequestration atau sekuestrasi karbon dioksida, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida yang berasal dari atmosfer. Metode ini juga dikenal dengan istilah Carbon Capture and Storage (CCS).

Karbon Aktif dari Limbah Biomassa

Jika ingin mengurangi perubahan iklim, kita harus menemukan cara yang efektif secara biaya dan berkelanjutan untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) industri. Sayangnya, metode CCS yang sudah banyak digunakan saat ini untuk “menangkap” dan menyimpan karbon pada sumber-sumber pasca-pembakaran industri memiliki kelemahan yang signifikan, di antaranya berbiaya tinggi, potensi toksisitas terhadap lingkungan, atau isu daya tahan (durability). 

Limbah biomassa dapat digunakan untuk menghasilkan karbon berpori (porous carbon), atau kita kenal sebagai karbon aktif, yang dapat menyerap gas CO2 yang dipancarkan dari sumber-sumber emisi besar, misalnya, pembangkit listrik, industri semen, dan sebagainya. 

Salah satu keunggulan dari pemanfaatan karbon berpori untuk penyerapan CO2 adalah produk ini dapat dihasilkan dari limbah biomassa, seperti limbah pertanian, limbah makanan, kotoran hewan, dan puing-puing dari hutan. Hal ini membuat karbon berpori dari limbah biomassa (biomass waste-derived porous carbons/BWDPC) menarik tidak hanya dari sisi biayanya yang rendah, tetapi juga karena karbon berpori dari limbah biomassa bisa menjadi alternatif untuk memanfaatkan limbah biomassa. 

Namun, hingga kini, tidak ada pedoman umum tentang bagaimana karbon berpori berkualitas tinggi tersebut harus disintesis atau bagaimana kondisi operasional karbon berpori yang optimal. 

Dalam studi baru-baru ini, para ilmuwan menggunakan metode berbasis machine learning untuk menentukan faktor-faktor inti yang harus diprioritaskan dalam membuat karbon berpori dari limbah biomassa ini agar dapat mencapai kinerja adsorpsi atau penjerapan CO2 terbaik yang pada akhirnya akan membuka jalan menuju ekonomi sirkular.

Dengan latar belakang ini, banyak peneliti memfokuskan pada hal yang mungkin merupakan langkah terbaik kami untuk sistem CCS generasi berikutnya: adsorpsi CO2 menggunakan bahan karbon berpori padat.

Karbon berpori dari limbah biomassa membawa kita semakin dekat pada realisasi ekonomi sirkular, tapi bidang studi ini relatif masih baru, dan tidak ada pedoman atau konsensus yang jelas di antara para ilmuwan tentang bagaimana karbon berpori dari limbah biomassa harus disintesis atau sifat dan komposisi material apa yang harus mereka gunakan.