Find Us On Social Media :

Strategi Smart City untuk Desa Pajam, Desa Tenun Khas Wakatobi

By Wisnu Nugroho, Senin, 4 Oktober 2021 | 11:30 WIB

Aisyah, penenun di Desa Pajam, Pulau Kaledupa, Wakatobi

Dengan lincah, jari-jari Aisyah (19) menata dua bilah kayu di antara benang-benang berwarna merah dan emas. Ia sedang membuat Homoru, sarung tenun khas Wakatobi, pesanan seorang langganan dari Makassar. 

Tak jauh dari Aisyah, tampak sang ibu dan adik sedang duduk sambil menggulung benang di atas sebilah papan. Di luar rumah, ada sang nenek yang usianya di atas 70 tahun yang baru saja menyelesaikan tenunannya. 

Pemandangan para perajin tenun yang sedang bekerja ini kami temui Desa Pajam, Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua sekitar 30 menit dari pelabuhan utama Pulau Kaledupa. 

Menurut Herlina, ketua kelompok penenun Desa Pajam yang menemani kami berkeliling, ada lebih dari 100 orang yang memiliki pekerjaan sebagai penunun di sini. Jika pesanan sedang membludak, dari kejauhan akan terdengar suara kayu beradu bersahut-sahutan, tanda mesin tenun manual sedang digunakan. 

Ketrampilan menenun diturunkan dari generasi ke generasi. Aisyah mendapatkan ilmu dari ibunya, dan ibunya mendapatkan dari neneknya. Begitu seterusnya. “Desa Pajam ini adalah desa tertua di Kaledupa dan dari awal masyarakatnya selain bertani juga menenun,” tutur Herlina.

Ia menambahkan, “Adat yang berlaku di sini, gadis-gadis dari kecil wajib diajari ilmu menenun ini sebagai bekal mereka berkeluarga.”  Seperti Aisyah, yang mempelajari ilmu menenun ini dari ibunya sejak ia berumur 8 tahun.  

Butuh Waktu Lama

Tenunan khas Wakatobi ini hampir serupa dengan tenunan khas Buton yang didominasi garis-garis berwarna cerah. Namun ada sedikit perbedaan dari motif yang digunakan. Ada motif tangkai bunga yang konon hitungannya hanya diketahui oleh para penenun di Wakatobi. 

Untuk menenun satu buah kain, para perajin butuh waktu dari 20 hari hingga dua bulan, tergantung jenis benang yang digunakan dan motif yang dibuat. Makin rumit motifnya, makin lama proses pembuatannya. 

Lamanya proses menenun ini karena ada 3 tahapan yang harus dilakukan untuk mendapatkan selembar kain tenun Wakatobi. Yang pertama adalah Purunga, yakni proses menggulung benang dengan menggunakan alat yang mirip kincir. Kedua, adalah Oluri, yaitu menggulung benang dengan menggunakan papan; proses inilah yang sedang dilakukan ibu dan adiknya Aisyah. Dan proses terakhir adalah menenun dengan menggunakan alat tenun manual. 

Karena proses yang lama inilah harga tenun asli Wakatobi cukup mahal. Harga yang ditawarkan mulai dari 700 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kualitas benang yang digunakan dan jenis motifnya. 

Wisata Tenun di Liya Togo

Selain di Desa Pajam, perajin Homoru Wakatobi bisa ditemukan di Desa Liya Togo, sekitar 8 km dari pusat kota Pulau Wangi-Wangi. Namun tak seperti Desa Pajam, di desa ini hanya sedikit keluarga yang mengkhususkan diri menjadi perajin Homuru. 

Menurut informasi, ada 5 keluarga perajin tenun yang ada di sini. Namun saat kami berkunjung, hanya ada dua perajin yang kami temukan. Salah satunya adalah Wa Ode Nasimu, yang sedang menenun di kolong rumah panggung miliknya. Dalam sebulan, ia mengaku bisa menjual 2-3 helai kain tenun yang ia buat bersama ibunya. 

Keahlian menenun ini membuat Desa Liya Togo juga sering dikunjungi wisatawan. Perancang busana Samuel Wattimena pun bahkan beberapa kali menyambangi tempat ini. Apalagi jaraknya tak terlampau jauh dari pusat ibukota Kabupaten Wakatobi.

Penenun di Desa Liya Togo

Tenun khas Kabupaten Wakatobi ini memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan, baik sebagai sektor industri maupun sebagai penunjang sektor pariwisata. Karena itulah, Bupati Wakatobi, H. Herlina, SE, berencana mewajibkan para aparatur daerah dan sekolah menggunakan tenun ini. 

“Dengan banyaknya penggunaan, akan meningkatkan permintaan, dan akhirnya perajin yang tadinya mulai berkurang akan terdorong untuk menenun kembali,” tuturnya saat kami temui di Rumah Jabatan di Pulau Wangi-Wangi.

Potensi tenun inilah yang bisa menjadi modal pemerintah Kabupaten Wakatobi untuk mengikuti Gerakan Menuju 100 Smart City untuk Destinasi Wisata Prioritas dan Ibukota Negara. Melalui gerakan ini, pemerintah Kabupaten Wakatobi akan mendapat bimbingan untuk berinovasi dan memanfaatkan teknologi untuk kemajuan wisata daerahnya. 

Diharapkan, melalui gerakan ini, pemerintah Kabupaten Wakatobi dapat mempersiapkan diri untuk menjadi tuan rumah bagi wisatawan sehingga memberi dampak positif bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Kabupaten Wakatobi. (Penulis: Rahma Yulianti)