Cloud computing (cloud) menjadi andalan saat pandemi melumpukan operasional bisnis dari banyak perusahaan. Tak heran jika cloud pun menjadi bagian penting perjalanan transformasi digital perusahaan, terutama dalam mengantisipasi disrupsi di masa depan. Namun apakah cloud saja sudah cukup?
Pandemi memukul telak hampir semua sektor bisnis di seluruh dunia. Namun pandemi juga memberikan satu pelajaran berharga kepada para pelaku bisnis. Yaitu, betapa pentingnya memiliki kemampuan untuk cepat beradaptasi, bangkit, dan pulih dari gangguan atau masalah, dengan tetap mempertahankan operasi bisnis yang berkesinambungan, atau business resilience.
Cloud computing terbukti dapat membantu perusahaan lebih mudah beradaptasi dalam situasi pandemi. Bahkan Forrester Research mengklaim bahwa cloud berada di posisi yang sangat penting dalam proses pemulihan pandemi.
Saat berbagai pembatasan diberlakukan akibat pandemi, cloud memungkinkan karyawan perusahaan mengakses sistem dan data dari rumah. Cloud juga terbukti dapat menyediakan sumberdaya komputasi yang fleksibel dan ketersediaan tinggi bagi sistem dan layanan perusahaan.
Menjawab tantangan disrupsi yang mungkin terjadi di masa depan, organisasi dan perusahaan masih akan mengandalkan cloud, terutama multi cloud. Sampai dengan tahun ini saja, menurut catatan Statista, 90 persen dari enterprise berskala besar telah mengadopsi multi cloud. Tak jauh berbeda dari Statista, Gartner memprediksi, sampai dengan 2025 nanti, lebih dari 90 persen enterprise akan menerapkan strategi infrastruktur dan platform multi cloud.
“Dengan memiliki multi cloud, Anda akan meningkatkan compliance dan uptime,” ujar Henry Kay, Solution Architect APAC, Kemp Technologies. Ketika ada satu instance yang mengalami kegagalan berfungsi, perusahaan dapat memulihkan layanan dengan lebih cepat, dengan skalabilitas yang dapat ditingkatkan secara vertikal (scaling up) maupun horizontal (scaling out).
“Pemrosesan pun menjadi lebih cepat karena kita memanfaatkan sumberdaya komputasi dari banyak sistem untuk sebuah task dan kita memperoleh standardisasi dari konfigurasi di semua multi cloud,” Henry menjelaskan dalam webinar “Infokomputer Tech Gathering: Mengantisipasi Disrupsi di Masa Depan”.
Namun pemanfaatan multi cloud, berupa dua atau lebih public cloud, dan infrastruktur private cloud dapat memunculkan tantangan di sisi application experience. Sebagai gambaran, pelanggan korporasi IBM rata-rata mengoperasikan enam cloud dan sekitar seribu aplikasi, menurut penjelasan CEO IBM Ginni Rometty.
Di kesempatan webinar InfoKomputer Tech Gathering, Henry pun memaparkan strategi untuk menjawab tantangan itu dan mengoptimalkan infrastruktur multi cloud, terutama dalam rangka meningkatkan business resilience untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya disrupsi. Strategi yang ditawarkan dalam implementasi solusi load balancing.
Dua Alasan Menerapkan Load Balancing
Mengapa load balancing? Menurut Henry, ada dua alasan untuk menerapkan solusi load balancing. Pertama, ketika perusahaan harus menggunakan multiple server karena jumlah pelanggan yang mengakses layanan terus meningkat. “Di sinilah load balancing berperan,” ujar Henry Kay.
Alasan kedua mengapa perusahaan membutuhkan load balancing dalam membangun business resilience adalah “things break”, benda apapun suatu saat akan mengalami masalah. “Seperti Titanic yang diklaim sebagai kapal yang tidak akan pernah tenggelam, tapi akhirnya tenggelam juga. Begitu pula server aplikasi. Ini bukan apakah sistem akan mengalami masalah, tapi kapan masalah itu datang,” jelas Henry.