Saat ini demam NFT memang sedang melanda Indonesia. Pemicunya siapa lagi kalau bukan Ghozali Everyday yang menjual foto selfie-nya sebagai NFT (dan laku dengan harga miliaran).
Cerita Ghozali ini menambah manis narasi NFT sebagai produk digital yang kekinian. Mirip seperti awal-awal mata uang crypto, NFT akan menjadi produk era digital yang nilainya akan terus naik. Jadi lebih baik masuk sekarang supaya memetik keuntungan di masa depan.
Namun sebelum Anda ikut terjun ke fenomena NFT ini, ada baiknya Anda memahami apa itu NFT. Terutama, apa risiko yang harus Anda antisipasi saat membeli produk NFT.
1. NFT bukanlah pembelian hak milik
Saat Anda membeli sebuah NFT, Anda sebenarnya tidak membeli hak milik produk tersebut. Yang Anda beli adalah representasi produk tersebut di “dunia” NFT. Anda bisa menjual kembali produk tersebut di dunia NFT, namun tidak bisa di dunia lain.
Jadi saat Anda membeli NFT berupa lagu, misalnya, Anda tidak bisa menjual lagu tersebut sebagai soundtrack film di dunia nyata (kecuali ada perjanjian khusus, yang jarang terjadi). Yang memegang hak milik lagu tersebut tetaplah pengarang lagu tersebut.
2. NFT dapat dibajak
Tidak lama setelah Ridwan Kamil menjual NFT berupa lukisan dirinya, foto serupa langsung muncul di OpenSea. Seperti dikupas dengan detail di sini, produk bajakan ini dijual menggunakan profil Ridwan-Kamil Collection, atau menyerupai akun asli Ridwan Kamil (yaitu Ridwan_Kamil Collection).
Kasus ini sekadar contoh, bagaimana sebuah produk NFT dengan mudah dibajak dan digandakan oleh orang lain. Dan hal ini tidak terhindarkan, karena tidak ada mekanisme di teknologi NFT yang bisa mencegah pembajakan.
Lho, bukannya ada teknologi blockchain?
Memang iya. Namun blockchain di balik teknologi NFT pada dasarnya hanya menyimpan kwitansi pembelian; bukan identitas barang tersebut. Selama token ID berbeda, blockchain di NFT tidak akan mendeteksi adanya barang yang sama.
Alasan kedua, penyedia platform seperti OpenSea memiliki model bisnis yang bertumpu pada jumlah transaksi. Mereka tidak memiliki kepentingan untuk mengecek apakah sebuah NFT adalah hasil duplikasi atau tidak.
Bagi pembajak, tidak ada halangan dalam melakukan pembajakan. Dulu, orang yang ingin menerbitkan (istilahnya minting) NFT harus mengeluarkan semacam biaya pendaftaran. Namun platform penyedia NFT saat ini juga menyediakan opsi slow minting.
Yang dimaksud slow minting adalah, pengguna tidak tidak perlu membayar uang pendaftaran di muka saat menerbitkan NFT. Pembayaran baru dilakukan ketika produk NFT tersebut laku terjual. Celah inilah yang dimanfaatkan para pembajak untuk menjual produk bajakan, karena mereka cuma perlu copy-paste sebuah produk; mirip kasus Ridwan Kamil di atas.
3. Rawan Digoreng
Salah satu kelebihan (sekaligus kekurangan) NFT adalah anonimitas-nya. Artinya, tidak perlu kejelasan siapa identitas pembeli dan penjualnya. Celah inilah yang bisa digunakan untuk “menggoreng” harga sebuah produk NFT.
Modusnya kurang lebih seperti ini. A menjual sebuah foto boneka di OpenSea. Lalu, A membuat akun lain dan membeli foto boneka tersebut dengan harga Rp.10 juta. Lalu, A membuat akun lain lagi dan membelinya dengan harga Rp.30 juta. Begitu seterusnya, sampai kemudian harganya menjadi Rp.100 juta.
Publik pun kemudian berpikir, foto boneka ini pasti berharga lebih dari Rp.100 juta karena banyak yang memperebutkan. Padahal, itu hanya permainan A semata.
Di sisi A, cara ini memang membutuhkan modal. Setiap terjadi transaksi, A harus membayar biaya ke marketplace NFT sekitar 2,5% dari nilai penjualan. Namun nilai itu relatif tidak seberapa dibanding keuntungan yang didapat.
Supaya adil, risiko goreng-menggoreng seperti ini juga ada di bentuk investasi lain. Namun risiko NFT relatif lebih besar, karena tidak ada regulator yang mengawasi. Selain itu, NFT biasanya melibatkan karya seni yang bagus-tidaknya terbilang relatif. Jadi meski hati kecil Anda heran kenapa foto boneka A yang biasa saja dihargai Rp.100 juta, narasi NFT menyodorkan fakta kalau harga pasarannya memang Rp.100 juta.
Nah, masih tertarik investasi NFT?