Bayangkan jika sepuluh tahun lalu Anda membeli tanah di seputaran Serpong. Saat itu, harga tanah di sana masih murah, di kisaran Rp.2-3 juta per meter persegi. Namun kini, Anda tidak akan mendapatkan tanah di Serpong dengan harga di bawah Rp.17 juta per meter persegi.
Dibanding investasi lain, investasi tanah dan properti memang sangat menjanjikan. Per tahun, kenaikan harga tanah bisa mencapai 100%. Tidak heran jika banyak orang mencoba berburu tanah yang lokasinya potensial agar bisa mendapat keuntungan berlimpah dalam waktu singkat.
Perburuan tanah ini ternyata juga terjadi di dunia digital. Seperti tercermin dari tweet berikut, banyak orang yang kini menyarankan untuk berburu tanah digital. “Mumpung masih murah,” katanya.
Apa Itu Tanah Digital
Tanah digital pada dasarnya adalah aset berupa area di dunia virtual. Mirip seperti di tanah dunia nyata, pemilik tanah digital bisa membangun properti di atas tanah tersebut, menyewakannya ke orang lain, atau sekadar memilikinya dengan harapan harga akan terus naik.
Konsep tanah digital ini menjadi relevan seiring kenaikan popularitas metaverse. Mengutip keyakinan Meta (Facebook), Microsoft, dan beberapa perusahaan teknologi lain, kehidupan manusia di masa depan akan melebar ke dunia metaverse. Aktivitas yang kita lakukan di dunia nyata, nantinya juga akan dilakukan di dunia metaverse. Contohnya seperti nongkrong bareng teman, belanja, nonton film, dan aktivitas lainnya.
Di sinilah daya tarik investasi di tanah digital. Jika memiliki tanah digital, kita bisa menjadi tuan rumah dari aktivitas banyak orang di dunia metaverse. Bisa dengan membuka toko online, membangun bioskop, sampai menyewakan tempat pameran. Atau, menunggu orang/perusahaan yang berani membeli tanah digital kita dengan harga tinggi karena tertarik dengan potensinya.
Namun, ada perbedaan signifikan antara tanah di dunia nyata dan di dunia metaverse. Di dunia nyata, kita hanya bisa membeli tanah di bumi. Sementara di dunia metaverse, ada banyak “bumi” yang menawarkan tanah untuk dibeli.
Yang paling besar saat ini (setidaknya dari sisi market size) adalah Decentraland. Di sana, ada 92.615 LAND yang bisa dibeli. LAND sendiri adalah satuan tanah virtual Decentraland yang berukuran 16x16 meter persegi. Untuk membeli tanah di Decentraland, Anda bisa menggunakan mata uang crypto resmi Decentraland yang bernama MANA.
Karena menggunakan mata uang crypto, harga tanah di Decentraland memang fluktuatif. Namun untuk membeli satu LAND, setidaknya Anda harus merogoh kocek 3477 MANA, atau sekitar Rp.122 juta.
Di marketplace Decentraland, Anda bisa mencari tanah yang sedang dijual. Namun, harganya memang mahal
Mahal? Hal ini tidak lepas dari popularitas Decentraland. Sudah banyak perusahaan global memanfaatkan Decentraland untuk aktivitas digitalnya. Contohnya panitia turnamen tenis Australia Open, yang membuka booth di Decentraland bersamaan dengan penyelenggaraan turnamen. Atau Samsung yang pernah membuka toko online khusus di Decentraland. Balai lelang Sotheby's bahkan memiliki plaza (kumpulan LAND) yang digunakan untuk melakukan lelang.
Investasi Menjanjikan?
Namun seperti kami singgung di atas, dunia metaverse bukan cuma Decentraland. Ada Sandbox, Enjin, Genesis World, Ertha, dan masih banyak lagi. Semuanya menawarkan tanah untuk dibeli, sekaligus mengiming-imingi keuntungan besar jika Anda investasi sekarang.
Namun, masuk akalkah investasi di tanah digital?
Menurut Vinsensius Sitepu, pemimpin redaksi Blockchain Media, relevansi tanah digital terkait erat dengan masa depan metaverse. Soal ini, potensinya memang menjanjikan. “Gejalanya sudah nampak, dunia metaverse akan semakin mainstream di masa depan,” ungkap Vinsen. Terlebih, teknologi pendukung seperti mata uang crypto dan blockchain juga semakin matang.
Tanah digital juga ditawarkan Ertha, yang menjual area virtual di seluruh dunia
Namun jika bicara tanah digital sebagai sarana investasi, Vinsen menganggap masih cukup riskan. “Karena saat ini pemainnya masih kecil dan masih penuh ketidakpastian,” tambah Vinsen. Belum lagi jika memperhitungkan, perusahaan teknologi seperti Meta akan membuat dunia metaverse sendiri yang berbeda dari yang ada saat ini.
Karena itu, Vinsen tidak menyarankan investasi tanah digital untuk individu. “Kalau untuk individu, mending tidak usah. Namun untuk korporat yang memiliki dana promosi, bisa dicoba,” tambah Vinsen. Alasannya, dunia metaverse bisa menjadi platform baru bagi perusahaan untuk melakukan branding dan berkomunikasi dengan customer.
Jika memang niat berinvestasi di dunia metaverse, Vinsen melihat digital item akan lebih rendah risikonya. “Misalnya seniman digital membuat bangku tiga dimensi dan dijual sebagai token NFT. Nanti bangku ini bisa dijual di lapak digital di dunia metaverse,” tambah Vinsen.
Jadi bisa disimpulkan, jangan mudah tergiur dengan investasi di tanah digital. Metaverse memang menjanjikan, namun juga penuh ketidakpastian.
Baca juga: Ingin investasi di NFT? Simak resikonya!