Find Us On Social Media :

Tiga Teknologi di Balik Maraknya Tren Self-Driving Enterprise

By Liana Threestayanti, Minggu, 6 Februari 2022 | 13:00 WIB

Ilustrasi self-driving enterprise

Penulis: Vincent Caldeira, Chief Technologist (FSI), Red Hat Asia

Maraknya adopsi teknologi-teknologi canggih, seperti automation dan Artificial Intelligence, oleh perusahaan saat ini diprediksi pada akhirnya akan berujung pada sebuah endgame: self-driving enterprise. Apa saja kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah organisasi atau perusahaan yang self-driving?  

Tak diragukan lagi bahwa pandemi telah mengubah cara kita bekerja, menjalani kehidupan, serta cara kita menggunakan layanan. Pada dua tahun terakhir, perusahaan harus beradaptasi dengan cepat atau mereka kehilangan bisnisnya. 

Oleh karena itu, makin banyak perusahaan menerapkan sistem kerja remote, atau merilis tool layanan digital yang ekstensif untuk menjangkau pelanggannya. Proses pembaruan dan peningkatan infrastruktur yang sudah ada sejauh ini telah berjalan dengan agile dan reaktif.

Kami percaya bahwa saat ini kita berada di persimpangan. Para CIO menyadari bahwa untuk bertahan dan berkembang di era baru ini, mereka harus memikirkan kembali bagaimana perusahaan berevolusi dan memanfaatkan data, teknologi, serta proses secara strategis, agar dapat memberikan customer value dengan lebih self-sufficient (swasembada), otonom dan scalable. 

Dibutuhkan banyak kemampuan untuk mendukung peralihan ke arah perusahaan yang ‘self-driving’, namun ada tiga tren fundamental yang patut dipertimbangkan dalam merencanakan transisi yang sukses.

Pertama, megatren data gravity akan mengakselerasi peralihan ke arsitektur data-centric yang terdistribusi dan memindahkan pemrosesan data ke edge.

Ketika interaksi yang dimungkinkan oleh teknologi digital menjadi satu kenormalan baru, didukung teknologi-teknologi baru seperti 5G dan perangkat IoT, perusahaan tidak hanya menghasilkan lebih banyak data, tapi data ini kebanyakan dihasilkan oleh sistem yang sensitif terhadap latensi di luar pusat data atau di public cloud. Selain itu, kemajuan dalam analitik dan machine learning memungkinkan perusahaan untuk membenamkan workflow intelligence ke dalam solusi digital mereka, yang juga memicu produksi lebih banyak data melalui pengayaan, agregasi dan integrasi data. 

Melihat tren ini, Gartner memperkirakan bahwa saat ini perusahaan menghasilkan dan memroses hanya 10% dari data mereka di luar fasilitas yang tersentralisasi seperti itu. Namun diprediksi pula bahwa persentase itu akan naik hingga 75 persen sampai tahun 2025[1]

Hal ini berarti, pemindahan data akan semakin sulit dan mahal. Arus data mengalir berbalik dan peningkatan pemrosesan serta penyimpanan data kini terjadi di edge. 

Tren data gravity ini membutuhkan arsitektur yang bersifat data-centric, didukung oleh strategi infrastruktur hybrid IT yang dimodernisasi, yang memperluas cloud ke connected data exchange yang ada di edge[2] dan lebih dekat ke point of presence, sekaligus memanfaatkan model operasional yang konsisten untuk memudahkan transisi yang cepat. 

Di Asia Pasifik khususnya, adopsi komputasi edge akan meningkat pesat pada tahun-tahun mendatang, dengan pertumbuhan terakselerasi 31,1 persen pertahun[3] untuk total addressable market cap sebesar US$45,32 miliar selama 2021-2030. Sebagian besar (adopsi ini) didorong modernisasi sektor manufaktur dan digitalisasi layanan keuangan yang semakin berkembang di kawasan ini.