Find Us On Social Media :

Adidas: Memilih Pemanfaatan Teknologi dibanding Tenaga Kerja Murah

By Liana Threestayanti, Jumat, 4 Mei 2018 | 10:43 WIB

Skor masih kosong-kosong ketika Andre Scurrle mengirimkan umpan matang ke kotak penalti. Di sana sudah menunggu Mario Gotze, yang dengan teknik sempurna, menahan bola dengan dada dan menendangnya dengan presisi ke pojok gawang. Kiper Argentina Sergio Romero tak bisa berbuat banyak, dan pendukung kesebelasan Jerman di Maracana Stadium pun bergemuruh. Jerman 1, Argentina 0.

Gol Gotze itu pun mengantarkan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014. Momen tersebut sebenarnya juga menandai dominasi Adidas, karena logo Adidas tertempel bola yang ditendang maupun pakaian pemain Jerman sang juara dunia.

Namun dominasi Adidas tersebut tidak berkorelasi di luar lapangan. Saat ini bisnis produsen peralatan sports asal Jerman tersebut berada dalam situasi sulit. Pangsa pasarnya di kawasan Amerika Serikat tergerus tajam, padahal AS menguasai empat puluh persen penjualan sportswear dunia. Tak hanya tertinggal dari Nike, Adidas bahkan dilibas oleh Under Armour, kompetitornya yang lain. Hal itu terlihat dari annual sales Adidas yang hanya mencapai US$ 1,1 miliar atau merosot hingga 23 persen.

Dibelenggu Outsourcing

Pangkal persoalannya terletak pada sistem outsourcing produksi yang diterapkan Adidas maupun produsen sportswear AS dan Eropa lainnya. Awalnya outsourcing dipilih karena alasan penghematan biaya. Pekerjaan produksi “dilemparkan” ke kawasan yang menawarkan biaya lebih murah, misalnya ke Asia Selatan.

Namun metode outsourcing ini lama kelamaan menimbulkan masalah. Selain mengendurnya quality control, proses produksi dan pengiriman barang juga menjadi kendala karena memakan waktu cukup lama. “Di Asia, dibutuhkan waktu antara 90 dan 60 hari untuk mengubah material menjadi produk,” ujar Gerd Manz seperti dikutip dari situs web Wired.co.uk.

Belum lagi tumpukan produk yang terpaksa diturunkan harganya (mark down) karena perencanaan yang terlalu optimis atau tak diminati lagi oleh konsumen. Di era internet saat ini, konsumen bisa segera dan dengan mudahnya melihat apa yang sedang nge-hits di luar sana. Walhasil, konsumen tidak terlalu tertarik dengan wholesale hari ini yang sebenarnya dipesan oleh toko sepatu sembilan bulan silam.

Upaya Tingkatkan Kecepatan

Menyadari kelemahan itu, pada bulan Maret 2015, CEO Adidas, Herbert Hainer mencanangkan strategi lima tahunan yang tujuannya adalah mengubah Adidas Group menjadi “the first true fast sports compay”.

Perusahaan yang berpusat di negara bagian Bavaria, Jerman ini pun berupaya sekuat tenaga memangkas waktu yang dibutuhkan dalam proses bisnisnya, misalnya mereduksi waste time dan ordering time. “Kami mati-matian mengurangi jumlah hari dalam proses yang berjalan dengan lebih berdisiplin,” ujar James Carnes (VP Brand Strategy).

Inisiatif memanfaatkan data diterapkan sejak tahun 2014. Adidas telah mengaplikasikan trend analytics, misalnya untuk memprediksi warna-warna yang akan menjadi tren. Namun tetap saja produk baru bisa dirilis ke pasar beberapa bulan kemudian.

Akhirnya, Carnes sampai pada kesimpulan bahwa ada dua masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan. "Pertama adalah hanya masalah ‘speed’: bagaimana kami bisa lebih cepat? Dan masalah lain adalah apa revolusi besarnya? Bagaimana kami sepenuhnya bisa mengubah model yang kami jalani saat ini? Apa alternatif yang benar-benar berbeda?” tandas James Carnes.