Find Us On Social Media :

Dua Startup Ini Manfaatkan Cloud untuk Mitigasi Perubahan Iklim

By Liana Threestayanti, Kamis, 28 April 2022 | 09:00 WIB

Dua startup clean tech, Rekosistem dan Nafas, manfaatkan cloud untuk atasi perubahan iklim.

Teknologi Dukung Ketersediaan Udara Bersih

Startup Nafas berdiri setelah sang Co-Founder dan CEO, Nathan Roestandy, terinsiprasi pengalamannya dengan polusi udara di Tiongkok. Nathan menemui kenyataan betapa sulitnya mencari data seputar kualitas dan polusi udara. 

Selanjutnya ia pun menyadari, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu pengaruh kualitas udara terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Dan tantangan utama yang dihadapi Nafas adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kualitas udara akibat ketiadaan cara mengukur kualitas udara.

Dengan mendirikan Nafas, Nathan ingin membantu masyarakat memperoleh akses terhadap informasi seputar kualitas udara yang akan membantu mereka menentukan pilihan terbaik. 

Selain menyediakan solusi monitoring kualitas udara, Nafas juga membuka peluang dengan mengolah data yang dapat dianalisis lebih lanjut oleh pihak asuransi maupun penyedia layanan kesehatan. “Tujuannya adalah memahami risiko-risiko penyakit terbaru dan korelasi antara kualitas udara dan kesehatan,” jelasnya.

“Tanpa AWS, kami mungkin saja membutuhkan 8-12 bulan tambahan untuk menyelesaikan perangkat keras Nafas, yang proses manufakturnya terdisrupsi akibat pandemi. Solusi AWS IoT juga memampukan kami untuk mengumpulkan dan menganalisis lebih dari 5,5 juta data points, termasuk jenis gas, partikel di udara, dan lainnya dalam jarak lebih dari 220 kilometer. Sehingga, dengan solusi Nafas, pengguna kami telah menikmati lebih dari 2 juta jam udara bersih sesuai standar WHO secara keseluruhan, atau setara dengan lebih dari 70 ribu hari,” Nathan menambahkan.

Cara AWS Ambil Bagian dalam Pembangunan Berkelanjutan

Tak sekadar menyediakan teknologi cloud bagi startup clean tech seperti Rekosistem dan Nafas, AWS juga telah menjadikan sustainability sebagai salah satu pilar bisnisnya.

Perusahaan induk AWS, Amazon.com, merupakan salah satu pemrakarsa The Climate Pledge, yakni inisiatif yang mencoba mendorong tercapainya netralitas karbon pada tahun 2040, 10 tahun lebih awal dibandingkan target besar Paris Agreement yang efektif sejak 2016. 

Layanan cloud yang ditawarkan AWS, menurut hasil riset  451 Research dan AWS tahun lalu, dapat menghemat energi hampir 5 kali lipat, atau setara dengan hampir 80 persen lebih efisien. Ken Haig, Head of Energy Policy for Asia Pacific & Japan, AWS memaparkan berbagai langkah yang ditempuh AWS untuk mengurangi jejak karbon. 

Klaster data center AWS, termasuk AWS Asia Pacific (Jakarta) Region yang beroperasi di Indonesia sejak Desember lalu, menggunakan material rendah karbon, teknologi pendingin, chip, dan suplai daya yang cerdas dan efisien. 

Ken menjelaskan, AWS mendesain chip Graviton3 yang 60 persen lebih efisien dibandingkan pendahulunya, Graviton2. Untuk suplai daya, AWS telah menggantikan unit uninterrupted power supply (UPS) dengan baterai dan sensor yang berfungsi membatasi konsumsi energi dan mencegah terjadinya pengurangan kapasitas dalam proses konversi daya.

AWS juga menyediakan dasbor AWS Customer Carbon Footprint Tool yang memungkinkan pelanggan memonitor jejak karbonnya. 

“Kami juga tengah mengerjakan lebih dari 300 proyek di seluruh dunia. Di Indonesia, kami bekerja sama dengan Clean Energy Investment Accelerator untuk menyediakan alternatif sumber energi terbarukan yang kian terjangkau dan tersedia bagi pembeli di kalangan perusahaan dan korporasi,” tegas Ken.

Selain menggunakan air hasil daur ulang dalam pendinginan pusat data, AWS bekerja sama dengan Water.org untuk meningkatkan akses air bersih di Indonesia. Water.org kemudian bermitra dengan PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) yang membantu masyarakat untuk menghubungkan rumahnya langsung dengan infrastruktur PDAM, sehingga tidak perlu berjam-jam mencari dan menimba air.

“Bekerja sama dengan organisasi lokal, kami telah menghadirkan manfaat bagi lebih dari 35 ribu penduduk Indonesia secara langsung, serta 400 ribu orang secara tidak langsung,” ujar Will Heyes, Global Lead for Water Sustainability, AWS.