Perusahaan rintisan alias startup di Indonesia akan mengalamo kesulitan untuk mendapatkan pendanaan (funding) secara terus menerus terutama dari investor asing.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan ada tiga faktor yang membuat startup Indonesia bakal sulit mendapatkan pendanaan secara terus-menerus.
Potensi keuntungan yang berkurang
Fithra menjelaskan startup baru banyak bermunculan di dunia pasca-krisis ekonomi global pada 2008 termasuk di Indonesia. Masalahnya, ketika itu, perbedaan ketersediaan modal (capital) di negara berkembang dan negara maju timpang.
"Nah, investor asal negara maju seperti Amerika Serikat ingin melebarkan portofolionya, yakni tak hanya di pasar modal konvensional, tapi juga ke startup di negara berkembang," kata Fithra.
Hal tersebut terbilang wajar dilakukan karena investor mencoba berinvestasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, meskipun relatif lebih berisiko. "Saat itu, startup Indonesia juga dapat limpahan modal," kata Fithra.
Sekarang, ketimpangan ketersediaan modal antara negara maju dan negara berkembang semakin tipis. Artinya, potensi pelebaran portofolio untuk mencapai keuntungan yang tinggi di negara berkembang seperti Indonesia, semakin tipis juga.
"Maka kecenderungannya adalah investor dari negara maju menahan diri untuk melakukan investasi-investasi yang signifikan," kata Fithra.
Tuntutan startup supaya bisa "untung"
Fithra menjelaskan, selain menjadi ladang investasi, sebelumnya negara berkembang juga menjadi target ekspansi yang agresif dari startup yang keberadaannya sudah ajeg di negara maju.
Makanya tak heran bila banyak startup dari negara maju beroperasi di negara berkembang. Menurut Fithra, startup ini awalnya selalu menargetkan "traction" atau pertumbuhan saja di negara berkembang. Misalnya seperti pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan basis pelanggan. Belum mengarah ke profitabilitas.
Namun, siklus bisnis startup sudah mulai berubah. Dari yang awalnya pemodal ventura hanya mengejar pertumbuhan, kini mereka (venture capitalist) menuntut startup untuk menghasilkan keuntungan (profitable).
"Sehingga sekarang startup akan lebih sulit mendapatkan funding dari para pemodal ventura," kata Fithra.
Suku Bunga The Fed
Seretnya pendanaan dari investor asing semakin diperparah dengan naiknya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (0,75 persen) pada hari Rabu (15/6/2022) waktu setempat. Ini dilakukan demi menekan laju inflasi di Amerika Serikat.
Dengan kenaikan tersebut, maka suku bunga acuan The Fed berada di kisaran 1,5 persen sampai dengan 1,75 persen. Fithra mengatakan, sacara umum, pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan The FED dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75 persen ini dapat berdampak pada startup di Indonesia.
Kenaikan suku bunga The Fed ini dapat memperlambat aliran modal asing ke stratup yang ada di Indonesia. Sebab, ketika suku bunga acuan naik, pola investasi justru cenderung akan menurun karena biaya pinjaman bank yang ikut meningkat. Ini dapat membuat investor asal Amerika Serikat menahan bahkan menarik uangnya dari pasar modal.
"Karena sudah harus mendatangkan profit, dan kebetulan ada pengetatan moneter dari The Fed, efek segera yang dapat dirasakan startup Indonesia adalah akan sulit mendapatkan funding (pendanaan)," kata Fithra.
Fithra mengatakan, pendanaan memang menjadi salah satu aspek penting pada kelangsungan hidup startup, namun bukan menjadi satu-satunya. Menurut dia, model bisnis harus menjadi aspek paling penting dalam keberadaan startup.
"Pada akhirnya, startup dengan model bisnis dan pertumbuhan yang baik, serta tidak semata-mata bergantung pada funding, maka startup itu akan berjalan lebih baik," pungkas dia.
Fithra mengatakan, startup tersebut justru akan kolaps bila mengandalkan pendanaan dari pemodal ventura atau investor saja.