Hanya berselang dua hari sebelum Hari Kesehatan Mental Dunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2022, kabar duka datang dari kota pelajar. Seorang mahasiswa di Yogyakarta meregang nyawa setelah melompat dari lantai sebelas sebuah gedung.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, yang di antaranya berupa surat hasil pemeriksaan kondisi psikologis korban, polisi memastikan kematian korban adalah karena bunuh diri. Tak pelak, kejadian ini menyisakan duka dan keprihatinan mendalam terutama dalam kaitannya dengan kondisi kesehatan mental atau jiwa seseorang.
Saat ini, kesehatan jiwa masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan sepenuhnya, baik tingkat global maupun nasional. Adanya pandemi Covid-19 semakin mempengaruhi kondisi kesehatan mental masyarakat.
Menurut catatan Emotional Health For All (EHFA), Indonesia terbilang memiliki masalah kesehatan mental yang cukup tinggi. "Berdasarkan penelitian terbaru, kami menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mungkin setidaknya 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan, dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut," ujar Project Leader & Founder, EHFA dan President Indonesian Association for Suicide Prevention Dr. Sandersan Onie, seperti dikutip dari Liputan6.com.
Dengan pemanfaatan teknologi terkini yang mulai banyak dijumpai di sektor kesehatan, bagaimana contoh artificial intelligence dapat diimplementasikan untuk membantu mengatasi masalah kesehatan mental ini?
Seperti halnya di sektor-sektor lainnya, penerapan contoh artificial intelligence di bidang kesehatan mental pun dapat menjadi sebuah game changer. Selain perawatan yang lebih efektif dan personal, contoh artificial intelligence juga dapat membantu para terapis mengembangkan teknik perawatan.
Inilah lima contoh artificial intelligence yang dikembangkan untuk perawatan dan peningkatan layanan di bidang kesehatan mental.
1. Menangkap tanda-tanda masalah kesehatan mental melalui pesan teks
Sekolah kedokteran di University of Washington baru-baru ini mengumumkan hasil studinya berupa model artificial intelligence (AI) yang dapat secara akurat mengidentifikasi gejala-gejala memburuknya kondisi kesehatan mental seseorang setelah model tersebut dilatih dengan cara menyaring pesan-pesan teks sehari-hari.
Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Psychiatric Services ini, para peneliti melatih AI untuk mencari dan membedakan antara beberapa distorsi kognitif umum, di antaranya mental filtering, melompat ke kesimpulan, merasa “harus” dalam segala situasi, pemikiran bencana (catastrophizing), dan generalisasi berlebihan.
Untuk menguji model AI berbasis natural language processing ini, para ilmuwan mengumpankan 7300 pesan teks yang dibuat 39 pasien selama 12 minggu yang juga telah diberikan catatan oleh para ahli manusia. Hasilnya, contoh artificial intelligence ini mampu mengidentifikasi dan mengklasifikaskan distorsi yang terdapat pada pesan teks pada tingkat yang hampir sama dengan hasil rekan manusianya.
Para ahli dari University of Washington membeberkan manfaat yang dapat diberikan oleh contoh artificial intelligence ini. Pertama, AI dapat menangkap tanda-tanda memburuknya kesehatan mental, yang mungkin diabaikan oleh dokter karena beban kerja yang terlalu berat atau belum dilatih untuk mengenali distorsi kognitif dalam kata-kata tertulis pasien.
Contoh artificial intelligence ini diharapkan menjadi satu alat tambahan yang akan memperluas informasi yang mereka andalkan dalam mengambil keputusan klinis.
Sistem AI ini juga dapat digunakan dari jarak jauh, tanpa pendampingan oleh dokter. Hal ini dapat membantu mempercepat proses triase dalam perawatan kesehatan mental dengan mengidentifikasi potensi bahaya dalam keseharian pasien. Misalnya dengan mengintegrasikan contoh artificial intelligence ini dengan perangkat wearable untuk health tracker atau sistem monitoring berbasis smartphone.
2. Mengintegrasikan kesehatan fisik dan mental
Sebuah studi membuktikan bagaimana algoritme machine learning dapat memberikan prediksi tentang potensi percobaan bunuh diri pada pasien-pasien yang dibawa ke rumah sakit karena melukai dirinya sendiri.
Keberhasilan ini memperlihatkan potensi artificial intelligence dalam mengintegrasikan perawatan kesehatan fisik dan mental. Sistem ini dapat memberikan peringatan kepada para dokter ketika seorang pasien memiliki resiko mengalami masalah kesehatan mental berdasarkan catatan kesehatan si pasien.
Misalnya, ketika pasien harus terus menerus mengonsumsi obat anti nyeri setelah operasi. Artificial intelligence dapat memberikan peringatan kepada dokter saat dosis obat mencapai titik di mana pasien berpotensi mengalami ketergantungan. Kemudian dokter dapat merujuk pasien ke terapis agar dapat mengelola rasa sakit tanpa obat-obatan.
3. Memantau kemajuan pasien dan menyesuaikan perawatan
Pasien perlu dipantau kemajuan dan peningkatan kondisinya. Artificial intelligence dapat membantu mengidentifikasi ketika pasien memerlukan perubahan perawatan sesuai kondisinya atau memerlukan terapis yang berbeda.
Misalnya, ada algoritme AI untuk menganalisis obrolan antara terapis dan pasien untuk mengetahui berapa lama waktu yang digunakan untuk terapi yang konstruksif ketimbang obrolan yang sekadar basa basi. Hal ini dapat membantu meningkatkan kualitas dari setiap sesi antara terapis dengan pasien.
AI transcript juga dapat menjadi alat bantu untuk meneliti bahasa yang digunakan oleh seorang terapis yang sukses. Transkripsi ini dapat dimanfaatkan untuk melatih terapis lainnya.
4. Memberikan terapi digital
Terapi digital berupa aplikasi mobile ini ditawarkan oleh Woebot yang menyerupai layanan pesan instan dengan proses terapi dan konten yang diotomatisasi. Woebot dikembangkan untuk bisa dipercaya sebagai sahabat manusia, terutama dalam mendukung kesehatan mental penggunanya.
Dikembangkan oleh dr. Alison Darcy, Woebot akan menanyakan suasana hati dan pikiran pengguna. Chatbot yang terintegrasi dengan Facebook ini pun seolah "mendengarkan" bagaimana perasaan dan belajar tentang pemiliknya, serta menawarkan alat terapi perilaku kognitif (CBT) berbasis bukti.
Interaksi dengan Woebot bertujuan mereplikasi pertemuan tatap muka kehidupan nyata yang mungkin dilakukan antara terapis dengan pasiennya. Dan interaksi tersebut disesuaikan dengan situasi individu. Meski begitu, sang pengembang menekankan bahwa Woebot tidak dapat menggantikan koneksi manusia.
Woebot menggabungkan kekuatan teknologi digital berupa aplikasi mobile, artificial intelligence (AI), dan Natural Language Processing (NLP). Woebot akan mengajak penggunanya mengobrol seperti seorang teman. Woebot kemudian akan membuat simulasi percakapan yang suportif agar pengguna mau lebih terbuka serta memberikan terapi yang tepat.
Kehadiran layanan seperti Woebot disebut para ahli membuat CBT lebih mudah diakses oleh siapa saja, termasuk oleh generasi muda yang terbiasa terkoneksi 24/7.
Secara tidak langsung, demokratisasi akses untuk perawatan kesehatan mental akan mendorong perawatan kesehatan mental menjadi suatu layanan yang umum. Semakin banyak orang mencari perawatan untuk kesehatan mental atau semakin banyak orang yang tahu tentang orang lain yang mengalami gangguan kesehatan mental, perawatanya bukan lagi hal yang perlu disembunyikan.
5. Memberikan informasi kesehatan
World Health Organization (WHO) dengan dukungan Kementerian Kesehatan Qatar baru-baru ini meluncurkan digital health worker, Florence 2.0. Florence akan menjadi platform yang inovatif dan interaktif untuk berbagi segudang topik kesehatan dalam tujuh bahasa.
Florence dapat berbagi saran tentang kesehatan mental, memberikan tips untuk menghilangkan stres, memberikan panduan tentang cara makan yang benar, lebih aktif, dan berhenti merokok tembakau maupun rokok elektrik, dan informasi lainnya, termasuk vaksin COVID-19.
“Teknologi digital memainkan peran kritis dalam membantu orang di seluruh dunia untuk hidup lebih sehat,” ujar Andy Pattison, Team Lead for Digital Channels, WHO seperti dikutip dari website WHO. Florence, menurutnya, adalah satu contoh cemerlang dari potensi pemanfaatan teknologi untuk mempromosikan dan melindungi kesehatan fisik dan mental masyarakat.
Informasi yang dibawa Florence sengaja dipilih dari topik-topik yang berdampak besar pada kesehatan di seluruh dunia. Dan menurut pengembangnya, Soul Machines, Florence dapat membantu sebagai firstline responder di area-area yang mengalami kelangkaan petugas kesehatan.
Artificial intelligence memang tidak bisa menggantikan, tapi bisa memberikan dukungan terhadap para terapis manusia. Teknologi AI dapat menjadi penolong bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, daerah terpencil di mana dukungan kesehatan untuk mental sulit ditemukan atau bagi mereka yang tidak mampu melakukan kunjungan rutin ke terapis. AI juga berpotensi merombak cara-cara perawatan kesehatan mental dengan membuat layanan semakin mudah diakses, lebih responsif, dan lebih terjangkau.