Find Us On Social Media :

Akamai Beberkan Tiga Risiko Keamanan dan Cara Proteksi Super App

By Liana Threestayanti, Selasa, 6 Desember 2022 | 19:00 WIB

Jagat digital diramaikan oleh kemunculan aplikasi super atau super app. Namun bagaimana perkembangan ini dilihat dari sisi keamanan?

Dalam beberapa tahun terakhir, jagat digital, termasuk di tanah air, diramaikan oleh kemunculan aplikasi yang diklaim pengembangnya sebagai aplikasi super atau super apps. Tren ini  tentu tak lepas dari makin banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan secara digital. Namun bagaimana perkembangan ini dilihat dari sisi keamanan?

Istilah super app sendiri diperkenalkan pada tahun 2010 oleh salah satu founder Blackberry, Mike Lazaridis. Saat itu, menurut Mike, super app adalah “sebuah ekosistem tertutup dari banyak aplikasi yang akan digunakan orang setiap hari karena aplikasi-aplikasi ini menawarkan pengalaman yang mulus (seamless), terintegrasi, kontekstual, dan efisien.” Kumpulan aplikasi di satu platform tunggal ini menawarkan multiguna yang akan melayani berbagai kebutuhan pengguna. 

Satu dekade kemudian, super apps atau aplikasi super pun berkembang pesat di Asia dengan kehadiran, misalnya WeChat dan AliPay di China. Aplikasi WeChat sendiri telah digunakan oleh 1,31 miliar pengguna sampai dengan akhir bulan September 2022, berdasarkan data Statista

Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan Ipsos, Grab, Shopee, Lazada, dan Gojek muncul sebagai super apps di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, selain empat aplikasi tersebut, ada nama Tokopedia, JD ID, BliBli, Bukalapak, dan Traveloka di deretan aplikasi super, menurut kriteria Ipsos. 

Belakangan, tak hanya pelaku e-commerce, ride hailing, dan OTA yang merilis super apps. Sektor keuangan pun tak ingin ketinggalan dalam percaturan aplikasi super, misalnya Bank Mandiri yang meluncurkan Livin’ by Mandiri dan Bank CIMB Niaga menghadirkan OCTO Mobile Bank CIMB Niaga.

“Perusahaan media sosial, e-commerce, dan layanan keuangan berlomba-lomba menawarkan super apps agar terpilih sebagai beberapa aplikasi yang biasa digunakan konsumen sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Misalnya, perusahaan penyedia layanan keuangan mungkin menawarkan berbagai hal mulai dari pembayaran, transfer dana, atau bahkan investasi, di satu aplikasi yang sama. Aplikasi lain yang dikembangkan oleh perusahaan fintech menawarkan layanan peer-to-peer landing atau ‘buy now pay later’,” jelas Ali Hakim, Regional Sales, Asia, Akamai Technologies Inc. (Akamai) kepada InfoKomputer dalam sebuah wawancara khusus beberapa waktu lalu. 

Selain memberikan layanan tambahan bagi pelanggan, strategi ini ditempuh para pelaku bisnis, menurut Ali, dalam rangka meningkatkan “permainan”. 

“Media sosial menyediakan e-commerce, sementara pelaku e-commerce, seperti Tokopedia dan Bukalapak, sekarang juga menyediakan layanan keuangan, bekerja sama dengan bank-bank konvensional yang menyediakan banking-as-a-service,” jelas Ali.

Walhasil, Ali melihat akan terjadi tumpang tindih layanan di dalam ekosistem pelaku super app ini. “Namun pada saat yang sama, mereka juga akan berkolaborasi,” imbuhnya.

Waspadai Kelemahan API

Berbicara tentang digitalisasi kita tak bisa lepas dari persoalan keamanan informasi. Begitu pula dalam tren super app ini. Dengan makin banyaknya fitur yang dijejalkan ke dalam satu aplikasi, kompleksitas sistem di belakangnya pun ikut meningkat, yaitu dari sisi aplikasinya sendiri, database, dan infrastruktur.

Ali menjelaskan, berbagai jenis layanan, seperti pembayaran, transfer dana, atau investasi sebenarnya dijalankan oleh aplikasi yang berbeda yang dimungkinkan oleh arsitektur microservices.