ChatGPT memang fenomenal. Kemampuannya menjawab pertanyaan dengan tajam dan kontekstual membuat chatbot buatan OpenAI ini dipuji banyak kalangan. Tidak heran jika cuma butuh lima hari buat ChatGPT untuk memiliki 1 juta pengguna.
Dalam konteks yang lebih luas, ChatGPT menjadi salah satu contoh gelombang kehadiran Generative Artificial Intelligence atau Generative AI. Secara definisi, Generative AI adalah jenis AI yang dapat menghasilkan karya digital baru, baik itu dalam bentuk teks, foto, musik, sampai video. Ciri utama Generative AI adalah kemampuannya menerjemahkan instruksi sederhana menjadi karya digital baru.
Agar memiliki kemampuan dahsyat tersebut, algoritma Generative AI harus melalui tahap “pembelajaran” yang insentif. Algoritma ini harus belajar data dalam jumlah yang masif agar dapat mempelajari pola dari data tersebut. ChatGPT misalnya, harus belajar 175 miliar parameter data dan 300 miliar kata-kata.
Akan tetapi, data saja tidak bisa langsung membuat algoritma Generative AI menjadi pintar. Harus ada teknik belajar yang efisien agar proses proses pembelajaran ini menjadi efektif.
Teknik belajar inilah yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan signifikan. Salah satunya adalah kemunculan teknik Natural Language Processing (NLP) bernama Transformer yang membantu AI dalam memahami teks secara kontekstual.
Karena itulah, algoritma Generative AI seperti ChatGPT pun semakin pintar; baik saat belajar maupun saat memberikan jawaban.
Contoh Generative AI
Seperti kami singgung di atas, ChatGPT hanyalah satu dari gelombang produk berbasis Generative AI. Saat ini, perusahaan digital berbasis Generative GPT berkembang pesat dan menjadi primadona dunia teknologi. Lihat saja bagaimana Microsoft berniat menggelontorkan dana US$10 miliar (atau sekitar Rp.150 triliun) untuk membeli sebagian besar saham OpenAI (sang pembuat ChatGPT).
Format Generative AI pun bukan cuma text-to-text seperti ChatGPT. Ada yang text-to-image, text-to-video, sampai text-to-speech.
Berikut adalah beberapa contoh solusi berbasis Generative AI.
- Jasper.ai (text-to-text): menyediakan solusi marketing dan sales content. Cukup dengan mengetikkan gambaran besar topik, Jasper.ai akan menerjemahkannya dalam konten yang tajam dan mendalam. Setelah itu, Anda pun bisa menggunakannya untuk posting di media sosial, newsletter, dan konten marketing lainnya.
- Stability AI (text-to-image): startup asal Inggris ini menyediakan solusi untuk mengubah teks menjadi gambar. Anda cukup memasukkan teks, setelah itu Stability AI akan menerjemahkannya sebagai gambar. Anda pun bisa memberikan instruksi seperti "pantai putih dengan air laut berwarna hijau dan biru muda", dan hasilnya akan seperti ilustrasi artikel ini.
- Soundraw (text-to-music): startup asal Jepang ini menyediakan solusi untuk membuat musik sesuai instruksi yang Anda berikan. Pilihan membuat musik meliputi durasi, tempo, genre, mood (seperti dark, angry, atau dreamy) sampai tema (seperti wedding, sport, atau comedy).
- GitHub Copilot (text-to-code): solusi ini adalah kerja bareng Github dan OpenAI, dengan tujuan membantu developer dalam melakukan coding. GitHub Copilot dapat menerjemahkan code comments menjadi barisan coding, melakukan autocomplete coding, membantu coding yang berulang, dan lain sebagainya.
- Rephrase AI (text-to-video): Startup asal India ini menyediakan layanan mengubah teks menjadi video untuk video avatar. Anda cukup memasukkan teks, setelah itu digital avatar akan “membacakan” teks yang Anda berikan melalui suara dan gerakan bibir yang relevan. Solusi Rephrase.ai juga bisa digunakan untuk orang betulan, seperti yang mereka lakukan bersama selebriti terkenal Shahrukh Khan.
Kontroversi Seputar Generative AI
Solusi berbasis Generative AI boleh dibilang menawarkan potensi luar biasa. Jika ingin mendekorasi ruang tidur, misalnya, Anda bisa menggunakan Stability AI dengan mengetikkan “kamar tidur yang nyaman dengan nuansa warna biru”. Dari hasil gambar tersebut, Anda mungkin bisa menemukan inspirasi untuk mendekorasi ruang tidur Anda tanpa perlu menyewa interior designer.
Namun di sisi lain, Generative AI juga memiliki kontroversi tersendiri. Salah satunya di aspek hak cipta. Untuk bisa menggambar sendiri, Stability AI belajar dari jutaan foto, gambar, dan karya digital yang ada di internet. Masalahnya, pengembang Stability AI tidak pernah meminta izin kepada pemilik karya digital yang dipelajari. Padahal karya yang dihasilkan Stability AI pada dasarnya adalah modifikasi dari karya yang ada pemiliknya.
Komunitas online ArtStation pun sempat melakukan aksi demo menolak karyanya dimanfaatkan Stability AI untuk belajar. Menjawab tuntutan tersebut, pengembang Stability AI pun memberikan opsi bagi seniman yang ingin menarik karyanya dari database pembelajaran Stability AI. Meski sudah teratasi, konflik ini sedikit banyak bisa menggambarkan potensi goncangan yang ditimbulkan solusi Generative AI.
Kontroversi lain yang mungkin muncul adalah soal bias. Karena belajar dari konten yang sudah ada, kecerdasan Generative AI tergantung asupan konten yang diberikan pengembang. Jika data yang diberikan benar dan teruji, jawaban yang diberikan Generative AI akan benar dan teruji pula.
Namun bagaimana jika asupan data yang diberikan pengembang mengarah ke konten tertentu? Siapa pula yang memiliki wewenang untuk menentukan data itu benar dan teruji?
Dua contoh di atas baru sekelumit dari kontroversi yang mungkin terjadi akibat munculnya Generative AI. Kita juga harus berhadapan dengan kemungkinan penurunan lapangan pekerjaan (karena digantikan AI yang kian cerdas), perubahan pola ajar (karena murid dengan mudah membuat skripsi atau thesis), dan lain sebagainya.
Pendek kata, kehadiran Generative AI akan mengubah secara drastis tata kehidupan kita. Pertanyaan besarnya, sudah siapkah kita?
Baca juga: Apa itu ChatGPT-4o