Indonesia butuh SDM dengan keterampilan mumpuni di empat bidang utama, termasuk AI. Namun ini hambatannya, menurut Kearney.
Nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan memiliki nilai terbesar di Asia Tenggara yang diprediksi mencapai US$315,5 miliar (Rp 4.698 triliun) pada tahun 2030. Namun, kesenjangan kesetaraan digital yang meluas masih menjadi tantangan bagi Indonesia dan mempengaruhi ambisinya untuk mencapai visi Indonesia 2045.
Menurut sebuah studi dari Kearney, Indonesia memiliki potensi bonus demografi yang baik di tahun-tahun mendatang. Hanya saja, menurut sebuah studi tersebut, Indonesia harus mengatasi masalah struktural dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Inisiatif digitalisasi di seluruh mata rantai industri telah dimulai, meskipun masih terbatas, sehingga menghambat populasi usia kerja untuk menjadi sumber daya manusia yang produktif dengan keterampilan utama untuk berkembang di dunia kerja di masa depan.
“Indonesia menyumbang 40 persen dari ekonomi digital Asia Tenggara, tetapi sebagian besar penduduk Indonesia masih belum dibekali dengan keterampilan TIK (teknologi informasi dan komunikasi, red) dasar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dalam masyarakat berorientasi teknologi saat ini," jelas Shirley Santoso, Partner dan President Director, Kearney Indonesia.
Shirley menambahkan bahwa menurut sebuah studi analisis terhadap 228 juta iklan lowongan pekerjaan di Amerika Serikat baru-baru ini, keahlian di bidang artificial intelligence (AI)/ machine learning (ML), cloud computing, product management, dan social media menjadi empat keterampilan yang paling dibutuhkan untuk lapangan pekerjaan yang terus berevolusi.
"Para peneliti menemukan bahwa setidaknya salah satu kriteria keterampilan tersebut adalah syarat yang ditampilkan pada satu dari delapan iklan lowongan pekerjaan di AS,” imbuh Shirley.
Oleh karena itu, menurut kata Rohit Sethi, Principal, Kearney, Indonesia harus segera mengembangkan infrastruktur pendidikan menjadi ekosistem digital yang kuat dan melibatkan pemerintah pusat, perusahaan swasta, BUMN, dan pelaku teknologi di bidang pendidikan.
"Pendanaan yang cukup dari pemerintah dapat mendukung pengembangan ekosistem pendidikan secara digital. Beban pengeluaran pemerintah dapat dikurangi dengan merancang regulasi pendanaan untuk menarik sektornya”, ujar Rohit.
Selanjutnya, Rohit memberikan contoh sistem pendidikan di negara tetangga, seperti Cina dan Singapura. Menurutnya, sistem pendidikan di kedua negara tersebut telah beradaptasi untuk menciptakan tenaga kerja masa depan.
Cina mengimplementasikan kebijakan untuk mempromosikan akses universal yang menghasilkan kenaikan pendaftaran sekolah sebanyak 50% dalam 8 tahun, seperti bermain/permainan sebagai sistem pedagogi utama pada masa prasekolah. Mereka juga membuat model “1+x” untuk pendidikan vokasi yang mengizinkan lembaga kejuruan dan universitas untuk menawarkan berbagai keahlian bersertifikat.
Lalu, Singapura meningkatkan sistem Institut Pendidikan Teknik untuk mengembangkan keterampilan teknologi dengan memperkuat kemitraannya.
Pada level universitas, Cina mendatangkan mahasiswa internasional, fakultas, dan mitra untuk meningkatkan diplomasi dan pengetahuan. Singapura berfokus pada pembelajaran berdasarkan praktik, program khusus industri, universitas otonomi, perangkat berbasis teknologi dan inovasi, serta pedagogi yang fleksibel.