Insight penting dari bisnis super app di Asia
Pertama, biaya akuisisi pelanggan yang rendah. Telah terbukti bahwa biaya akuisisi pelanggan untuk layanan baru dalam super app (yang notabene bertindak sebagai platform tunggal) jauh lebih rendah daripada menarik pengguna ke aplikasi berbeda, meski dengan branding perusahaan yang sama.
Pada 2018, pendiri Gojek, Nadiem Makarim mengungkapkan, bahwa dengan menerapkan model super app, biaya untuk membawa pengguna yang sudah ada ke layanan baru menjadi nol.
Efisiensi biaya yang sedemikian rupa terbukti berkontribusi terhadap pertumbuhan Gojek yang mengesankan, dengan valuasi yang terus meningkat dari sekitar Rp 15 triliun pada 2016, menjadi sekitar Rp155 triliun pada 2019, dan lebih dari Rp 540 triliun hingga sekitar Rp 620 triliun pada 2021 setelah merger dengan Tokopedia.
Kedua, menciptakan lebih banyak customer touchpoint dengan memaksimalkan Lifetime Value. Semakin beragam layanan super app, semakin lama pula pengguna cenderung bertahan di ekosistem, dan semakin banyak uang yang mereka belanjakan.
Pada 2019, Uber menggabungkan layanan pemesanan kendaraan dan pengantaran makanan ke dalam satu aplikasi.
Ketiga, membangun sinergi antara layanan tambahan dan inti. AirAsia, maskapai penerbangan internasional asal Malaysia, mendiversifikasi bisnisnya pada 2020 dengan meluncurkan AirAsia Super App, yang sekarang dikenal sebagai Capital A.
Tujuannya adalah untuk mendiversifikasi bisnis dan mengurangi risiko dengan menemukan aliran pendapatan baru.
Di tengah sulitnya kondisi pandemi, AirAsia berusaha bertahan dengan meluncurkan lini bisnis dengan frekuensi dan margin rendah, seperti antar makanan.
Keempat, meningkatkan retensi pelanggan. Super app dikenal dengan tingkat retensi pelanggan yang tinggi.
Kisah Grab adalah contoh yang bagus, terutama jika brand bersaing di negara atau industri yang sangat kompetitif.
Untuk mempertahankan pelanggan, Grab memperkenalkan layanan seperti Grab Express dan Grab Platform.