Secara lebih rinci, survei IDC juga membeberkan tentang tantangan false positive. Sebanyak 70% responden mencatat bahwa setidaknya 25% dari peringatan yang mereka terima adalah positif palsu dan 82% tim membutuhkan waktu lebih dari 15 menit untuk memvalidasi peringatan.Meningkatkan keahlian tim keamanan siber juga masih menjadi persoalan di Indonesia, seperti diungkap oleh 86% responden.
Peran Automasi dan AI
Menjawab berbagai tantangan tersebut, Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia, menyoroti peran automasi dalam mengidentifikasi dan merespons ancaman siber dengan cepat, serta meminimalkan jendela kerentanan.
“Dalam keamanan siber yang terus berkembang, 70,7% perusahaan memprioritaskan deteksi ancaman yang lebih cepat melalui automasi. Di Fortinet, kami menyadari pentingnya deteksi dan respons cepat sebagai landasan peningkatan postur keamanan siber,” jelas Edwin.
Dan syukurlah, menurut survei IDC dan Fortinet, 98% perusahaan di Indonesia telah menggunakan alat automasi dan orkestrasi dalam operasi keamanannya sehingga menunjukkan pengakuan luas atas nilai alat tersebut dalam memperkuat strategi keamanan siber. Meski begitu, survei menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh potensi teknologi ini.
Berdasarkan pengalaman pelanggan Fortinet, Edwin mengungkapkan bahwa dengan memanfaatkan automasi yang didorong oleh AI dan advanced analytics, pelanggan dapat mengurangi waktu deteksi dari rata-rata 21 hari menjadi hanya satu jam.
“Solusi Operasi Keamanan Fortinet, yang didukung oleh AI tingkat lanjut, tidak hanya menjawab kebutuhan mendesak akan automasi tetapi juga memberikan strategi komprehensif untuk deteksi dan respons insiden,” papar Rashish Pandey, Vice President of Marketing and Communications, Fortinet Asia.
Rashish menjelaskan kemampuan solusi Fortinet, seperti mendeteksi dan mengatasi ancaman dalam waktu rata-rata satu jam; melakukan investigasi dan remediasi rata-rata 11 menit; ROI sebesar 597%; dan meningkatkan produktivitas tim dua kali lipat.
“Mengamankan infrastruktur IT modern memerlukan komitmen berkelanjutan terhadap kewaspadaan, proaktif, dan kemampuan beradaptasi di tengah tantangan yang ditimbulkan oleh pekerjaan hybrid, AI, dan teknologi awan. Pergeseran dinamis dari kontrol statis ke postur keamanan siber yang berpusat pada risiko selaras dengan lanskap teknologi yang terus berkembang,” ujar Simon Piff, Research Vice President, IDC Asia-Pasifik.
Baca juga: Fortinet Ungkap Prediksi Ancaman Siber 2024, Marak Serangan Pakai AI